Minggu, 28 April 2019

Aku masih hidup di lubang sepi dan sunyi

Kali ini aku tak butuh ramai, meringkas diksi yang penuh arti menyukat jiwa terpontang panting rasa yang alergi, aku tak butuh senja kali ini, menghilangkan bayang semu yang palsu, aku sepi seperti malam tanpa bulan, seperti hujan tanpa pelangi, seperti air tanpa muara dan pagi tanpa cahaya. Kini aku terkutuk gelap meringkas bingkai harapan, memotret lara yang penuh luka, merobek asa yang tak pernah jadi rasa,merobek senyuman tanpa belas kasihan.

Tapi tunggu dulu sebelum kau pergi meninggalkan dermaga tanpa ada janji serapah , dengarkan jeritan jiwaku yang penuh luka ini, terpanah gelombang sepi, memutar diksi agar kau berempati, syair yang sukat membuat dirimu hilang terbius aroma sajak yang tak dapat kumiliki, aku berdarah, terpaku dengan rindu yang terpanah, merajut basa basi bisu mencampakan rindu yang kini jadi rindang, kau hadir tanpa lukisan, membuat diriku mati dalam sumpah yang kini hanya jadi sampah, Dengarkan lagi, putarlah badanmu sejenak, simpanlah telingamu dalam diksi yang menyukat, saat dirimu mengeluh aku selalu ada menghantam sarkas agar jiwamu masih utuh, tapi kau balas dengan tumpukan sampah menghianati janji  yang penuh luka.

Sumpahmu memang sampah memberikan dogma yang tak punya warna, dermagamu hanya untuk tahta menyandera diriku masuk kedalam lubang yang penuh luka,  aku patah dengan lukisan yang kucintai, aku bisu dengan pena yang kupandangi , aku hancur lebur bagai bianglala tanpa roda.
Logikaku mati dalam sepi meringkas bayangan bingkai yang hadir dalam mimpi, merobek ufuk rindu demi tahta yang ingin kau miliki, aku hanya lelaki jalang yang mencoba hidup untuk merakit kakiku bangkit kembali, memolah intuisi mendengarkan jeritan yang penuh luka ini, Pergilah dengan harapan, memulai hidup dengan nyaman, kau berhak untuk bahagia tanpa luka, biarkan aku sendiri yang merasakan sepi penuh luka ini, biarkan aku yang terhantam suara – suara sarkas dunia ini, biarkan aku yang mati dalam sepi.

Mengenangmu adalah kronis, membalut asa tanpa rasa, memutar bingkai demi jiwa yang telah kehilangan arah, memapah kembali dalam perjuangan bermimpi lagi untuk hidup yang menghidupankan, menghilangkan permata demi menyembuhkan nadi yang penuh luka.
Aku akan kembali merangkai diksi, merangkai dalam tarian luka agar bahagia memotret asa agar jadi rasa untuk cakrawala yang siap bahagia, aku akan pergi dengan jiwa sunyi merengkah hati membalut luka dengan puisi agar aku tidak mati kembali dalam sepi.

Dulu aku memang terpenjara rindu yang hanya jadi rindang, meringkas kenangan demi ambisi yang menghilanngkan nurani, memotong sayap merpati agar ego dapat kumiliki, bodohnya aku terbuai sumpahmu yang hanya jadi sampah.

Lihatlah diriku yang sekarang, aku bangkit dalam diksi yang penuh luka ini, merakit kembali harapan yang dulu kau panah, memperbaiki bianglala agar darah mengalir kedalam rayya yang hadir untuk bahagia, aku masih ada untuk menolak punah.

Jika kau ingin mencari, carilah aku dalam sepi dan sunyi .

Bandung, 29 april 2019

Aditya permana






Rindu Yang Tak Pulang


Ada pesan dari senja bandung hari ini
Banyak pesan yang saya dapatkan sore hari
Ada secangkir kopi yang mengajak berbincang di kampus biru mencari kesalahan ataupun kebenaran dalam sebuah kejanggalan RUU permusikan
Ada asap roko yang menghempaskan bahwa raga harus menemui kawan lama yg sudah tak kujumpai dalam poros kerinduan, akhirnya aku seperti orang yang sedang memilih diantara dua pilihan, aku putuskan untuk memilih kerinduan,  dalam poros kerinduan banyak sekali yang kita obrolkan dimulai dari rencana hingga wacana,  kerinduan ini membuat saya lupa dengan sebuah kata pulang, saya diajak untuk pergi bukan hanya untuk menjelejahi kerinduan melainkan kenyamanan dan ketentraman jua,  hingga dimana kita sampai di dalam kendaraan yang akan membawa kedalam poros yang diharapkan, didalam tempat itu aku memandang langit,  langit itu besuara sangat keras seperti orang yang merintih kelaparan
Seperti orang yang kesakitan
Seperti orang yang dihinakan
Seperti orang yang dilenyapkan
Hah, ternyata ini bukan suara itu.
ini suara gek anggun penuh kasih yg akan meninggalkan, 
Ini suara gek yang akan pergi dari kesepian
Ini suara harapan yang akan di lenyapkan
Ini suara kedamaian yang dikoyak koyak kesalahan
Ini suara permata yang akan hilang... 

Gek terimakasih untuk pesan sore ini,  terimakasih sudah memberi tinta walau tak mengajari,  gek kau itu hebat seperti orang orang yang berjuang akan arti kata dari toleransi antar umat agama. 
Gek kau itu hebat dimana ketegasan menjadi kunci utama dalam perlawan
Gek kau itu hebat dimana kelucuan hanya pantas bagi kerabat terdekat
Gek kau itu itu hebat
Kau lebih menyemangati teman teman yang belajar dibandingkan dirimu yang tidak mengerti tentang kata
Gek ini bukan perpisahan melainkan ini pertemuan dimana suatu hari nanti akan ada kata yang terkenang antara dewata dan kembang.

Bandung pukul 23.15 wib dalam keadaan sedikit resah tanggal 4 februari 2019
Aditya permana 



KITA ADA DARI YANG BERBEDA


Lari kencang melaju dengan kilat membungkam lirih lirih kerinduan,  merindu memang sifat manusiawi namun suaramu menolak kehadiran janji
Aku seperti orang yang tak layak untuk di pertunjukan di pementasan
Aku seperti orang yang mati dari ketakutan
Aku seperti orang yang malu untuk berbincang dalam kehangatan
Aku seperti orang yang tak pernah dianggap ada dari subtansinya rayya

Banyak orang yang bilang bahwa rindu itu harus dibayar tuntas,  tuntas bagaimana maksudmu? ,  jika tinta saja masih dikebiri oleh kehaluan
Banyak orang yang bilang bahwa obatnya cinta adalah membuka,  membuka bagaimana maksudmu? ,  jika pembukaan saja masih ditutupi oleh sinopsis yang kita takuti
Banyak orang yang bilang bahwa kita akan menjadi sepasang kekasih yang bercinta di kedamaiaan,  kedamaian apa maksudmu? ,  jika ritual segelas kopi kerinduan saja masih kaubtumpahkan.

Benar kata kebenaran,  kita tak akan mungkin bisa bersama,  kita tak mungkin bersatu,  kita tak mungkin marajut asa menjadi rasa.
Kamu terlalu cepat mengakhiri hingga mengkebiri indahnya senyummu sendiri
Kamu terlalu cepat mengasumsi suara suara malaiakat yang kau takuti
Kamu terlalu cepat menangisi dua ruangan yang berbeda

Hey puan apa nya yang berbeda,  kita ini sama,  kita ini sama sama diajarkan kebaikan dan ketulusan,  hey puan sudahlah kita ini memang  beda namun hati kita sama sama di ciptakan oleh tuhan yang sama
Hey puan sudahlah jangan ucapkan bahwa kita berbeda agama
Kita ini saling cinta dan merasa
Hey puan sudahlah jangan ucapkan bahwa kita berbeda agama
Kita ini sama sama di ciptakan dari tanah
Hey puan sudahlah jangan ucapkan bahwa kita berbeda agama
Kita ini manusia yang hidup untuk memanusiakan kembali

Hey puan kuharap kita mengerti
Bahwa kita memang beda dari yang ada
Terimakasih puan
Kuharap kebaikanmu akan menolong siapapun menjadi manusia yang manusia


-Bandung pukul 00.18 wib 9 feb 2019-
Aditya permana



Punah


Berbaring sakit merakit jungkat jangkit untuk menghidupkan jiwa yang sakit
Badai menerpa raga untuk tidur kembali dalam ruangan yang  susah di rakit
Literatureku hanya bualan untuk dogma yang berpenyakit tak ada bantuan dari cahaya sukat dan sikit
Aku ingin hidup bersamamu walau tombak memaksa untuk senyap
Biarkan aku berjalan dalam lingkaran yang sakit membuka mata untuk menyadarkan jiwa jiwa yang sulit
Ragaku hitam terperangkap benang benang stigma tembok kerakusan
Aku akan tetap berjalan walau peluru menebus imajiku
Aku akan tetap hidup walau punah dalam tembok kesepian
Aku masih ada walau panah mamaksaku untuk punah
Aku masih masih senyap dan berjalan... 

aku sendiri
berjalan kedalam lubang yang awalnya belum sempat aku singgahi... 
sepi...
tak ada orang satupun
pagi hingga malam
aku.. termenung didalam hibernasiku sendiri
mencari apa itu yang dinamakan jati diri
kakiku melangkah dengan kilat
walau cahaya tak kunjung datang
namun aku percaya didalam keheningan akan ada kebahagiaan

aku.... 
masih berimajinasi didalam kesendiriaan
walau pahit tak kunjung usai
namun inilah aku
yang selalu sibuk dalam kesendiriaan
menikmati arti hidup yang terlalu dalam
hey bangunkanlah aku
jangan takut
walau aku gila
namun aku bukan orang gila
walau aku gelap
namun aku bukan kegelapan
aku hanya manusia jalang yang dibunuh dari kumpulannya
Mengkoyak koyak mimpi membunuh lara dalam rumah sendiri.


Bandung, 14 maret 2019 
Aditya permana 



Menolak Luka

Gelap,  sepi dan tidak berguna
Memolah diri dari rempah rempah raga tertusuk gumpalan sampah
Menusuk langit membuka mata bahwa raga harus sujud dalam tiga pagi
Entah apa yang sudah dilakukan
Semua pergi meninggalkan rumah,  kini hanya sepi
Tak ada lagi sosok ayah
Tak ada lagi sosok ibu
Semua hilang dirampas tuhan dan kesepian

Membanting dunia memeluk asa agar tidak mati dalam segeles  arak
Duniaku sudah berubah asap damai kini hanya hadir dalam kegelisahan
Membuat mata terkuntuk menangisi rumah yang sudah sepi

Ibu pergi dengan bermodalkan kebutuhan
Ayah hilang diambil tuhanku sendiri
Kakaku sepi dalam damainya sendiri

Entah apa yang harus ku lakukan,  semua hilang memberi luka
Aku hanya sampah yang berharap bahagia

Cita cita kini hanya buta
Harapan pun jadi punah
Kaki terdiam menyelimuti kesepian yang tiada habisnya

Mati matilah aku dalam kesepian
Terperangkap akan dogma kesalahan

Bu aku rindu dimna kalimat keresahan selalu saja kau lontarkan
Yah aku rindu dimna kini aku sadari bahwa kita tidak bisa berkumpul lagi

Bu kuliahku hancur bu,  entah apa yang harus saya lakukan
Saya ingin mundur bu
Saya nyerah bu
Bukan berarti saya tidak ingin berjuang
Saya mati dalam sepi bu

Bu ijinkanlah aku mati hari ini
Biarkan aku hilang dalam sepi

Dunia malam membuat jiwa ini lupa diri
Ingin sekali kudekatkan raga pada sang ilahi
Bu aku rindu. 

Terkapar kembali dengan dinamika yang telah terjadi
Terbunuh dengan kerakusan yang pernah di dihakimi

Maafkan bu,  kini anakmu hancur dalam sepi
Aku gagal bu membawamu kedalam istana yang pernah di idamkan

Ingin sekali rasanya kita ceria bahagia menatap raga menginjak di tanah suci. 

Bagja, asa, rasa, cipta
Waringkas,  rahayu jeung gede milik bu

Aditya permana
26 maret bandung sore hari

 

Tidak usah pergi untuk dicari


Diksi ini memang terlahir dalam sepi, menyukat ego akan kesalahan dalam diri, Kenangan kita kini mulai terkikis oleh bingkai kebohongan , saling menutup lara terbawa akan biusnya luka. Dan akhirnya kita terpana dengan percikan bayang yang dirindukan, kau memilih diam dengan luka, kau memilih bisu dengan lara dan kau lebih memilih lenyap pada sang cinta, aku yang berjuang melawan diam untuk melompat pada suasana sunyi, aku yang berkata merangkai diksi agar kita bahagia dan aku masih ada untuk kisah kita berdua, jangan pernah pergi untuk dicari apalagi diam untuk dihidupi, jangan pergi setelah menghakimi intuisi, kau dihadirkan bukan untuk melukai.

Kembalilah dari ruangan yang semu jangan terlalu lama menoleh bayangan fana kau hanya akan dibuat tak berdaya, kau akan sepi dan kau akan mati, memang benar, kebohongan tidak akan pernah berteman dengan kebenaran, tapi kau berhak  untuk memperbaiki, kau berhak untuk bahagia dan kau berhak untuk menolak sepi, Hiduplah untuk menghidupkan jangan hanya hidup untuk kegelapan, menarilah dalam diksi bukan mengobati luka untuk pergi dan sunyi.

Katamu , “manusia yang dilahirkan tuhan tidak ada sia sia”, mengapa kau membungkam mulutmu sendiri , mengapa kau jadikan malam tanpa bintang, mengapa kau diam membisu, mengapa !. Aku hanya ingin berjalan berdua tanpa tanya, tanpa sayup rindu yang jadi karang, aku bukan musuhmu yang bisa diajak perang, aku hanya jalang yang mencoba menuliskan kisah yang dirindukan.

Kita berhak untuk bahagia menari dalam pena menyukat warna yang penuh kegelisahan, kita berhak untuk bertatap tanpa ratap melukis kisah yang harus di perjuangkan, kembalilah menjadi manusia yang manusia meluruskan nurani tanpa ambisi, memotret asa agar jadi rasa yang tercipta.
Kembalilah dalam poros perjuangan jangan biarkan aku hitam sendirian, jangan biarkan aku hilang dalam kesepian, jangan biarkan aku sunyi untuk kesendirian, temani aku untuk menghilangkan luka dalam kisah kita berdua.

Aku hanya ingin mengatakan jangan pernah pergi untuk dicari.


Bandung, 28 april 2019
                                                                                                                                                  

                                                                                                                                Aditya Permana 




Aku yang tidak mengenali diriku sendiri


di sudut dunia, ada seorang lelaki, mengisak tangis yang mengangga , terhantam riuh nya kerikil derita yang ada pada raga, melirih sendu, membuat aksara mendayung dalam dekapan sang sepi.  Terpontang – panting  terpanah asa yang tak pernah jadi rasa, diksi kini terpana dalam poros dramaturgi mencari cinta yang terbunuh pena, dinamika bagaikan bianglala tanpa  tusukan jari yang memberikan tinta nurani, semuanya hilang tanpa melontarkan basa basi, menelantarkan jiwa tanpa kata peduli, terpanah ego yang terlalu tinggi membunuh transisi membuat isi kepala jadi sunyi, sepi, semuanya mati, kini aku terpaku dengan diriku sendiri,  mebuka kata melawan realita dengan apa yang ada di isi kepala, sampai kapan aku berteman dengan sepi , aku sakit dan aku berdarah .

aku kehilangan jati diri terbawa objek transisi yang penuh luka dalam dialektika, membuncah imaji menolak terapi untuk melawan dogma yang sepi,  aku mati dalam ramai, aku lupa dengan cinta, aku sepi, Bantulah aku dengan nurani bukan ambisi, jangan biarkan aku terbakar dengan jeritan yang patah,  aku tidak bisa keluar sendiri , karena aku bukan jiwa pembalut diksi.

Aku haus kasih sayang, aku muak jadi jiwa yang sering terbuang,  kini setiap langkah hanya membuat jiwa terpana dalam luka, meraung kata merobek mimpi tanpa aksara,  suaraku membuat mereka jadi fana, aku bosan dengan bayangan semu yang tak paham dengan jiwa yang rapuh, Kemana lagi kubawa tubuh yang penuh luka ini, aku sudah bosan dengan sepi , jangan biarkan aku terbentur dengan hati yang sunyi, apa aku harus mati dalam keadaan depresi.

Aku tidak mengerti dengan diriku sendiri
Mengapa ketika mereka hilang selalu memberikan karang
Mengapa cinta hanya jadi lara
Mengapa aku tidak ijinkan untuk memeluk orang yang disayangi
Mengapa semuanya menolak aku yang penuh luka ini


Mereka memudar, aku menghilangkan diksi yang  penuh arti,dan peluk mencibir sepi tanpa arah,
Aku hanya ingin menjadi manusia biasanya merasakan cinta mengobati luka untuk bahagia.
Bantu aku untuk hidup, menari dalam diksi mengabarkan sajak, “hidup untuk menghidupkan”
Untuk jiwa jiwa yang teraniaya  oleh rayya yang penuh sandiwara.

  
Bandung sore hari, 28 April 2019
Aditya permana





Minggu, 21 April 2019

Menghirup luka dengan aroma kopi

Aroma kopi pagi ini 
Mengatar diksi ke sosok dramaturgi yang tak tau arah pulang
Melukis sajak hanya demi melawan kejanggalan 
Polemik membuat jiwa tenggelam dalam kamuflase yang di hantui bingkai kenangan 

Mengisak raga memaksa pena untuk keluar dari bayangan semu 
Burung bersiul di sinar cakrawala 
Membuat rayya termenung mamapas waktu yang tersisa 

Adakala nya mentari merawat poros yang tenggelam 
Menyukat percikan yang menusuk intuisi tanpa peluk 
Senandung rayya membuat irama mendayung bahagia 
Mencibir jarak terhantam putaran bianglala 

Ruang dan waktu merengkah ritme yang tak ber-irama
Melambai jungkat hanya menolak bersembunyi 
Tarian dinamika merobek ufuk untuk mendayung 
Menyambut homogen memotret luka di asia afrika

Asa hanya jadi asu
Rindu hanya jadi rindang yang tak berkarang 
Kenangan hanya jadi karat yang tak pantas di pinang
Menoleh rona menyambar tanpa kecup 
Harmonika menemani luka yang pekat 

Tapi tunggu dulu 
Jangan terlalu belebihan 
Diksi ini bukan lari dalam penat 
Ia hanya butuh istirahat dalam ritme yang sukat 

Menikmati syair mengisak redup memancar rimba yang tak terkecup

Tenanglah 
Karena dramaturgi tidak akan punah 
Hanya diam menunggu percikan jingga agar tak hilang dalam subtansinya warna yang mendayung.  

15 april
Bandung pagi hari 
Aditya permana 



Senin, 15 April 2019

Ketika langit menjadi sebuah pelarian

Gelombang mata menyilaukan dunia yang samar
Menyembunyikan rupa cantik yang memancar
Di balik hijab hitam kau bercadar mengikat janji dengan sang Tuhan, bahwa tawakal adalah kunci untuk selalu tetap tegar.

Sepertiga malam pun kau merintih menangisi diri penuh luka yang teraniaya,
Menggaduh cinta untuk sang pencipta
bahwa lara harus bisa bahagia.

Wajahmu tertutup kain yang sangat indah, selaksa rasa memancarkan sinar anugerah.
Dari segala sisi kelam kau buang dengan ke indahan dari-Nya, lalu memohon diri untuk di rumahkan bersama orang-orang yang bertaqwa dalam golongan utusan-Nya.

Angin malam yang berhembus memikat tangan untuk terus bertasbih, dan cadar ini hanya untuk mencari keridhoan dari sang illahi dan sebagai syareat untuk mencapai menuju kesempurnaan-Nya.
Tanpa terasa air mata pun mengalir membasahi kain hitam yang menoleh luka yang telah terjadi.

Rayya tak berhak untuk memandang,  wajahnya hanya pantas untuk di lihat oleh seorang lelaki yang ber - ikrar dalam poros yang sakral.
Matahari pun tersipu malu atas kilauan matamu, dan awan pun membias karna ke indahan dan berkah yang telah Tuhan berikan kepadamu.

Dan baru kusadari bahwa dari miliaran perempuan yang ada, hanya ada bidadari di balik sebuah cadar berwarna hitam itu.

Ini bukan tentang cinta tuan apalagi puan,
Tapi ini tentang intuisi seorang perempuan yang mencari ke ridhoan kepada Tuhannya.

 - Aditya Permana, Bandung 16 april.



Minggu, 14 April 2019

Sumpah hanya jadi sampah

Lagi dan lagi aku tertusuk gumpalan janur kuning merobek jiwa yang dipaksa untuk sunyi dan hening
Bola mata memandang daun kering
Mencaci malam bahwa suratmu bukan untuk sang karang

Bola mata masih memandang janji serapah
Bahwa sumpahmu hanya jadi sampah
Melukis kenangan bukan untuk melupakan
Melainkan hanya menagih kata yang tak pernah terobati

Awalmu jadi akhirku
Janjimu kini cuma bisu
Estetika tanpa cinta
Membuat mulutmu bisu dengan janji yang terompang amping jeruji

Sumpah hanya jadi sampah
Kau layangkan surat janji tanpa memikirkan ikrar yang sudah di kebiri
Membuat panah agar aku punah
Melirik asu, asa kini telah mati dalam rasa

Inikah yang dinamakan sumpah atau kau datang hanya memberiku sarapan sampah
Basi,  membuat kamar jadi besi
Mendengar kabar bahwa kau akan melakukan janji dengan ikatan yang suci

Memarihmu adalah musibah
Mengenangmu itu kronis
Terhantam sepi dan sunyi
Mungkin jiwaku memang ditakdirkan seperti ini

Jika lukisan itu sudah kau bakar
Maka akan ku katakan,  aku tidak pernah terhenti untuk melukis luka dalam kata
Jika janjimu adalah janji
Maka akan ku katakan,  sampai jumpa dilain hari yang tak pernah kita kenali

Sucimu kini telah jadi suci
Bahagiamu sudah terobati
Selamat menempuh poros baru
Dan aku masih tetap sunyi dan sepi

Memandang asa yang tak jadi rasa
Melarat hingga berkarat rahim cinta hanya jadi penompang kisah tanpa kasih
Mencium aroma tubuh yang bau kencur tertutup hilal dalam halal
Kepergian hanya jadi bualan
Tanpa surat yang terlukis
Embun pagi menikam rayya, terkecup janji hanya jurang membelai mesra irama yang tak punya nada
Polemik dalam pinus sangat melukai
Menghantam zero memapas semua sajak sang hero
Bunga melati kini tak lagi wangi
Memberi janji demi lari kelubang yang suci
Membuat irama untuk guyonan sang raja
Bahwa sosok dramaturgi kini mati dalam dekapan sang cinta

Putih dan hitam hanya sebuah warna
Namun janji bukan tentang irama yang lara
Gunung dan laut terus bernada
Bahwa ada rimba yang mati dalam kata kata
Dramaturgi kini telah dikebiri melati 
Terbunuh panggung 
Tanpa narasi dan urgensi semuanya semu mencumbu gelap membuat badan terkapar dalam dekapan hipotermia

Gunung  papandayan menjadi kisah tanpa kasih
Memberi sumpah yang kini hanya jadi sampah 
Merah merona hanya sebuah warna
Mencium bayangan semu yang penu luka
Dermaga kini telah porak poranda
Terkikis surat biru yang dibawa


Putihku penuh luka
Hitammu penuh lara
Selamat bahagia dalam lubang yang telah ber irama

Bandung 14 april pagi hari ditemani sepucuk surat biru yang ditumpahi air kopi.




Sabtu, 13 April 2019

Sepi semi dan ironi

Ku ringkas semua perlengkapan untuk memaju asa yang ternah menjadi rasa
Memutar diksi kembali melipatkan ego untuk mati dalam sepi
Kaki berjalan menuju dermaga keuntuhan
Memuja semi dan ironi

Ku ceritakan semua sepi pada selipat teori yang basi
Cahaya bulan dari gie
Menampar raga yang sedang berjalan pada indahnya gunung papandayan
Bahwa aku orang malam yang membicarakan terang dan aku orang tenang yang menantang kemenangan oleh pedang

Basi basa bisi terkucup dalam rantang yang terbawa pada rayya yang penuh kegelisahan
Aku bukan pemenang yang tertidur lelap dalam kepuasan
Aku hanya pengecut yang menantang sepi agar tidak mati dari lubang kegelapan

Jika mereka berpikir aku hanya lelaki senang
Biarkan aku melawan dengan cara menyepi dan diam dalam diksi

Jika mereka berpikir aku hanya lelaki yang mencari cinta yang hakiki
Biarkan aku bisu dalam sajak chairil yang menerangkan "mampus kau di koyak koyak sepi"

Jika mereka berpikir aku hanya pecundang
Aku akan berjalan seperti kalimat datuk "terbentur,  terbentur dan terbentuk" itulah aku yang selalu memuja sepi dalam semi ironi

Biarkan kuteguk kembali segalas arak dan menukarkan dengan damainya aroma kopi arabica yang dibawa dari  gunung ijen

Biarkan aku berpikir sejenak ,  menenangkan raga akibat kaki yang selalu di sadap kehancuran

Jangan paksa aku mencintaimu dalam bulan juni
Aku hanya ingin menjelma seperti titik nol yang pernah menceritakan bahwa ada kisah kasih dalam kerikil pelosok desa yang membawa jiwa terkapar dalam kedamaian.

Biarkan aku berjalan
Biarkan aku memulai kembali sajak yang belum sempat diucapkan..

Tenanglah aku masih ada walau tertusuk gumpalan darah yang mematikan. 


Bandung dini hari
28 maret
Aditya permana



Fana merah jambu


Berpacu dalam roda menghepas jiwa terbuang dari ruang cipta singasana
Fana merah jambu memaksa malam untuk merindukan segelas kopi arabica yang kau bawa
Indah nya sepi melepas penat dalam pena
Terhantam diksi mengantar raga pada poros sajak sajak yang belum sempat di cipta
Tarian pena membuat tangan ini lumpuh dari kasih sayang, di kebiri tenang dan sepi
Detak jarum jam membawa intuisi bergelut dengan kisah yang tak pernah menjadi kasih
Memang sial,  diksiku dipaksa bercumbu dengan sepi
Melahirkan nyawa dalam kesunyiaan memang indah walau kaki tak tau arah pulang
Kuhampiri semua metaforsa melirik asa yang tak pernah menjadi rasa
Tak ada subtansi dalam rayya
Dinamika hanya bisu melihat singgasana retak yang tidak pernah menghadirkan cahaya

Polos nya cinta terbunuh dengan dinamika di bayang bayang teori yang cukup pekat
Melarat,  menunduk pada badan yang telah berkarat
Sepi, damai dan indah hanya obat bius untuk melahirkan syair yang sukat
Kini dermaga hanya dijadikan tempat berlari bukan menetap apalagi menyepi
Riuh gelombang rindu membuat sikis ini mati dalam kesadaran
Gelisah pohon pinus membawa angin bercumbu dengan sajak yang dipenuhi dialektika harmonika
Rindu hanya jadi rindang
Kasih hanya jadi kisah
Rasa kini hanya jadi asa yang tak pernah tercipta
Dan cinta hanya bualan pena agar jiwa masuk kedalam lara,kala dan luka


Aditya permana
8 april 2019



Sepi dalam dekapan arak

Terbuang dari meja makan, ini bukan tentang kucing yang mencuri lauk pauk, ini kisah piring  dipecahkan dari keharmonisan, memaksa diam dalam kelam merajut rindu dari tandus bunga kamojang, senyap dari ramai riuh dalam sepi,  gelombang rumah hanya dijadikan pijakan angin menusuk ruang tamu berburu rindu yang mati di hantam sunyi

Ini cerita ku
Sebotol arak tersimpan di lemari memapas jiwa yang di kebiri
Berburu kasih hanya fana yang belum terobati
Tak ada yang memadu seperti kapal yang kehilangan jati diri

Aroma arak membuat mati dalam bisikan setan bahwa raga telah hitam terbuang dari kumpulan orang orang suci

Memapas kembali sembari meneguk arak yang telah lama kupandangi
Bahwa jiwa harus terkapar dalam riuh nya kota yang penuh kesombongan ini

Kusimpan air hitam dalam meja memeluk asap menikmati sepi mencari jati diri
Bahwa ruang tamu kini hanya jadi
Sunyi yang tak pernah dikunjungi

Mataku mulai vertikal melihat camar jadi samar
Kurebahkan badan di kamar yang penuh lukisan
Membayang rumah yang kini mati terhantam oleh karya potoku sendiri

Badanku kurus membungkuk terbesit alunan sakaw
Setan dan malaikat berebut jiwaku yang terkapar dalam sepi
Tak ada lagi yang peduli dengan sosok dramaturgi
Semuanya berdalih bahwa hidup memang seperti ini

Ah persetan dengan sebotol arak
Kau hanya bisu disaatku terkapar
Melirih rindu yang mati oleh air hitam

Silahkan caci silahkan benci silahkan kebiri
Aku hanya sepi bukan alergi pada diri sendiri
Kau berhak memuja ramai dan mencaci sepi
Kau berhak memukul jiwaku tapi tidak dengan lukisan dan potoku



Sunyi

Aku menulis bukan untuk dikenang
Aku menulis bukan untuk jadi pemenang
Aku menulis bukan untuk mendapatkan sang puan
Apalagi diam dalam kebohongan dan kebodohan sang malam

Biarkan diksi ini sepi
Biarkan diksi ini hidup dalam botol yang kupandang setiap pagi
Jika menulis hanya ingin dikenang lebih baik aku mati daripada berjuang pada kemunafikan
Biarkan sajakku sepi
Biarkan syair berlabuh pada dermaga yang sunyi

Jika memang aku harus dibenci
Itu resiko dramturgi yang dihantam riuhnya sepi
Dikenang,  mengenang dan mencintai
Semuanya hanya datang lalu pergi

Biarkan diksi ini menyepi lagi
Jangan kebiri sepi
Karena sepi tidak pernah berteman dengan ramai

Jika suci adalah sebuah alunan irama
Bagaimana dengan kabar sepi yang menciptakan itu semua

Jika sunyi dikebiri
Bagaimana kabar indah yang dilahirkan dari dunia sepi dan sunyi



Minggu, 07 April 2019

Sepi yang mengkebiri

Memadu bait bait penyesalan untuk bangun dari lorong kegelapan
Memikat asa agar terbentur dari harapan yang punah
Terhimpit dinamika dibayang bayang mandela dan fidel castro
Ada tarian padi menyukat jiwa agar hidup dari kehidupan

Merasa benar dari kebenaran membuat sikis ini lumpuh dalam peradaban
Sarapan pagi menyapu teori aristo teles bahwa lebih baik terbentur untuk terbentuk

Aku mati dalam dunia sopi
Membayang raga yang belum dibanggakan
Masih terhantam sepi hingga benar benar suri dalam diksi "mampus kau di koyak koyak sepi"

Sampai kapan aku harus seperti lelaki jalang yang dibuang dari kumpulannya
Menanti kasih untuk bercerita
Menari dalam pena
Menciptakan bahagia dalam kebahagiaan

Seperti kalimat datang dan pergi
Jika datang untuk mengasihi
Aku layak untuk dikasihi jiwamu
Jika datang untuk mencintai
Aku layak untuk dicintai bayanganmu

Jika datang hanya ingin dicari
Lebih baik diam sebelum menularkan ketidakpastiaan
Jika datang hanya ingin dipuja
Lebih baik tidur sebelum pagi kau di tusuk tusuk dogma dogma kebohongan

Lalu jika aku ingin mencari
Ijinkanlah,  aku akan menari dalam kegelapan
Melenyapkan titik titik kesombongan

Jika aku ingin mencintai
Ijinkanlah,  aku akan mencintai bukan mencinta lalu pergi
Percayalah.....

Kita patut untuk mengasah pena walau kanvas tak merestui....
Membanting asa tanpa rasa walau kita saling bermimpi...

Bandung 19,20 wib 13 maret
Aditya permana





Dia belum pulang

Merah merona terlukis dengan burung bango yang kita cintai
Dari sorak sorak kumpulan orang yang haus kemenenagan
Kau tersipu malu tertunduk menatap layar yang telah membuatmu menjadi ratap

Pertemuan ini menjadi kemenangan untuk kita semua
Riuhnya suasana membuat pipimu jadi merah merona
Tidak ada kalimat senja yang kita bicarakan
Munkin kita terlalu angkuh dengan kata senja yang seperti halnya orang orang romantica katakan

Kita pulang dengan sepeda motor tua
Kita memandang sudut kota dengan coretan rindu yang tersimpan rapih dalam history

Kupikir kau telah berubah ternyata masih sama saja,  kau masih menggilai mie ayam dan kopi areng

Beruntungnya si motor tua
Memboceng kasih yang telah jadi kisah
Duduk bersama di lingkaran rasa yang jadi lara

Beruntungya si burung bango
Menatap atap yang telah membuat malam jadi ratap
Menutup diksi hanya demi rindu yang tersiasati

Dan beruntungya aku
Menulis romantica tanpa pena 
Melukis kisah tanpa warna
Memotret indah tanpa kamera

Menang sial,  rindu ini harus di bayar tuntas
Jeritan lukamu masih terdengar tapi tenanglah
Aku tidak sejahat itu, aku masih menyimpan alunan harmonika yang pernah dimainkan di balai kota

Jadi pulanglah rumahmu bukan di jakarta masih banyak alunan nada yang belum keluar dalam kota yang penuh irama. 

Pulanglah bandung masih tetap merindukanmu.... 
7 tahun kita  hanya jadi bayang yang tak pernah mengeluarkan kata jadi dialektika.

Pulanglah...
Bandung malam hari 7 april 2019



Surat untuk marsinar #2

Marsinar, perjalanku kini sudah terlalu jauh, aku melihat begitu banyak penderitaan di desa-desa, ada ibu imas yang setiap hari menanam ke...