Aroma kopi pagi ini
Mengatar diksi ke sosok dramaturgi yang tak tau arah pulang
Melukis sajak hanya demi melawan kejanggalan
Polemik membuat jiwa tenggelam dalam kamuflase yang di hantui bingkai kenangan
Mengisak raga memaksa pena untuk keluar dari bayangan semu
Burung bersiul di sinar cakrawala
Membuat rayya termenung mamapas waktu yang tersisa
Adakala nya mentari merawat poros yang tenggelam
Menyukat percikan yang menusuk intuisi tanpa peluk
Senandung rayya membuat irama mendayung bahagia
Mencibir jarak terhantam putaran bianglala
Ruang dan waktu merengkah ritme yang tak ber-irama
Melambai jungkat hanya menolak bersembunyi
Tarian dinamika merobek ufuk untuk mendayung
Menyambut homogen memotret luka di asia afrika
Asa hanya jadi asu
Rindu hanya jadi rindang yang tak berkarang
Kenangan hanya jadi karat yang tak pantas di pinang
Menoleh rona menyambar tanpa kecup
Harmonika menemani luka yang pekat
Tapi tunggu dulu
Jangan terlalu belebihan
Diksi ini bukan lari dalam penat
Ia hanya butuh istirahat dalam ritme yang sukat
Menikmati syair mengisak redup memancar rimba yang tak terkecup
Tenanglah
Karena dramaturgi tidak akan punah
Hanya diam menunggu percikan jingga agar tak hilang dalam subtansinya warna yang mendayung.
15 april
Bandung pagi hari
Aditya permana

Tidak ada komentar:
Posting Komentar