Minggu, 21 April 2019

Menghirup luka dengan aroma kopi

Aroma kopi pagi ini 
Mengatar diksi ke sosok dramaturgi yang tak tau arah pulang
Melukis sajak hanya demi melawan kejanggalan 
Polemik membuat jiwa tenggelam dalam kamuflase yang di hantui bingkai kenangan 

Mengisak raga memaksa pena untuk keluar dari bayangan semu 
Burung bersiul di sinar cakrawala 
Membuat rayya termenung mamapas waktu yang tersisa 

Adakala nya mentari merawat poros yang tenggelam 
Menyukat percikan yang menusuk intuisi tanpa peluk 
Senandung rayya membuat irama mendayung bahagia 
Mencibir jarak terhantam putaran bianglala 

Ruang dan waktu merengkah ritme yang tak ber-irama
Melambai jungkat hanya menolak bersembunyi 
Tarian dinamika merobek ufuk untuk mendayung 
Menyambut homogen memotret luka di asia afrika

Asa hanya jadi asu
Rindu hanya jadi rindang yang tak berkarang 
Kenangan hanya jadi karat yang tak pantas di pinang
Menoleh rona menyambar tanpa kecup 
Harmonika menemani luka yang pekat 

Tapi tunggu dulu 
Jangan terlalu belebihan 
Diksi ini bukan lari dalam penat 
Ia hanya butuh istirahat dalam ritme yang sukat 

Menikmati syair mengisak redup memancar rimba yang tak terkecup

Tenanglah 
Karena dramaturgi tidak akan punah 
Hanya diam menunggu percikan jingga agar tak hilang dalam subtansinya warna yang mendayung.  

15 april
Bandung pagi hari 
Aditya permana 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Surat untuk marsinar #2

Marsinar, perjalanku kini sudah terlalu jauh, aku melihat begitu banyak penderitaan di desa-desa, ada ibu imas yang setiap hari menanam ke...