Minggu, 14 April 2019

Sumpah hanya jadi sampah

Lagi dan lagi aku tertusuk gumpalan janur kuning merobek jiwa yang dipaksa untuk sunyi dan hening
Bola mata memandang daun kering
Mencaci malam bahwa suratmu bukan untuk sang karang

Bola mata masih memandang janji serapah
Bahwa sumpahmu hanya jadi sampah
Melukis kenangan bukan untuk melupakan
Melainkan hanya menagih kata yang tak pernah terobati

Awalmu jadi akhirku
Janjimu kini cuma bisu
Estetika tanpa cinta
Membuat mulutmu bisu dengan janji yang terompang amping jeruji

Sumpah hanya jadi sampah
Kau layangkan surat janji tanpa memikirkan ikrar yang sudah di kebiri
Membuat panah agar aku punah
Melirik asu, asa kini telah mati dalam rasa

Inikah yang dinamakan sumpah atau kau datang hanya memberiku sarapan sampah
Basi,  membuat kamar jadi besi
Mendengar kabar bahwa kau akan melakukan janji dengan ikatan yang suci

Memarihmu adalah musibah
Mengenangmu itu kronis
Terhantam sepi dan sunyi
Mungkin jiwaku memang ditakdirkan seperti ini

Jika lukisan itu sudah kau bakar
Maka akan ku katakan,  aku tidak pernah terhenti untuk melukis luka dalam kata
Jika janjimu adalah janji
Maka akan ku katakan,  sampai jumpa dilain hari yang tak pernah kita kenali

Sucimu kini telah jadi suci
Bahagiamu sudah terobati
Selamat menempuh poros baru
Dan aku masih tetap sunyi dan sepi

Memandang asa yang tak jadi rasa
Melarat hingga berkarat rahim cinta hanya jadi penompang kisah tanpa kasih
Mencium aroma tubuh yang bau kencur tertutup hilal dalam halal
Kepergian hanya jadi bualan
Tanpa surat yang terlukis
Embun pagi menikam rayya, terkecup janji hanya jurang membelai mesra irama yang tak punya nada
Polemik dalam pinus sangat melukai
Menghantam zero memapas semua sajak sang hero
Bunga melati kini tak lagi wangi
Memberi janji demi lari kelubang yang suci
Membuat irama untuk guyonan sang raja
Bahwa sosok dramaturgi kini mati dalam dekapan sang cinta

Putih dan hitam hanya sebuah warna
Namun janji bukan tentang irama yang lara
Gunung dan laut terus bernada
Bahwa ada rimba yang mati dalam kata kata
Dramaturgi kini telah dikebiri melati 
Terbunuh panggung 
Tanpa narasi dan urgensi semuanya semu mencumbu gelap membuat badan terkapar dalam dekapan hipotermia

Gunung  papandayan menjadi kisah tanpa kasih
Memberi sumpah yang kini hanya jadi sampah 
Merah merona hanya sebuah warna
Mencium bayangan semu yang penu luka
Dermaga kini telah porak poranda
Terkikis surat biru yang dibawa


Putihku penuh luka
Hitammu penuh lara
Selamat bahagia dalam lubang yang telah ber irama

Bandung 14 april pagi hari ditemani sepucuk surat biru yang ditumpahi air kopi.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Surat untuk marsinar #2

Marsinar, perjalanku kini sudah terlalu jauh, aku melihat begitu banyak penderitaan di desa-desa, ada ibu imas yang setiap hari menanam ke...