Sabtu, 13 April 2019

Fana merah jambu


Berpacu dalam roda menghepas jiwa terbuang dari ruang cipta singasana
Fana merah jambu memaksa malam untuk merindukan segelas kopi arabica yang kau bawa
Indah nya sepi melepas penat dalam pena
Terhantam diksi mengantar raga pada poros sajak sajak yang belum sempat di cipta
Tarian pena membuat tangan ini lumpuh dari kasih sayang, di kebiri tenang dan sepi
Detak jarum jam membawa intuisi bergelut dengan kisah yang tak pernah menjadi kasih
Memang sial,  diksiku dipaksa bercumbu dengan sepi
Melahirkan nyawa dalam kesunyiaan memang indah walau kaki tak tau arah pulang
Kuhampiri semua metaforsa melirik asa yang tak pernah menjadi rasa
Tak ada subtansi dalam rayya
Dinamika hanya bisu melihat singgasana retak yang tidak pernah menghadirkan cahaya

Polos nya cinta terbunuh dengan dinamika di bayang bayang teori yang cukup pekat
Melarat,  menunduk pada badan yang telah berkarat
Sepi, damai dan indah hanya obat bius untuk melahirkan syair yang sukat
Kini dermaga hanya dijadikan tempat berlari bukan menetap apalagi menyepi
Riuh gelombang rindu membuat sikis ini mati dalam kesadaran
Gelisah pohon pinus membawa angin bercumbu dengan sajak yang dipenuhi dialektika harmonika
Rindu hanya jadi rindang
Kasih hanya jadi kisah
Rasa kini hanya jadi asa yang tak pernah tercipta
Dan cinta hanya bualan pena agar jiwa masuk kedalam lara,kala dan luka


Aditya permana
8 april 2019



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Surat untuk marsinar #2

Marsinar, perjalanku kini sudah terlalu jauh, aku melihat begitu banyak penderitaan di desa-desa, ada ibu imas yang setiap hari menanam ke...