Pada akhirnya kesepian jadi teman sejati, membanting raga
yang sedang bermimpi untuk bangkit kembali, menusuk intuisi membuat nadi mati
untuk asa yang hilang dalam rasa, aku lupa untuk mensyukuri, dimana sepi membuat kaki ini lupa untuk berdiri, aku lupa
untuk bahagia dimana sunyi menghantam bianglala yang lara, melirik bingkai
kenangan merobek ufuk dialektika yang di bayang bayang dinamika semiotika
dramaturgi, aku patah bagai ranting yang tergeletak di tanah, aku hancur bagai
raga yang terhantam hipotermia kesepian,
aku mati dalam ramai.
Menari dalam kanvas bercumbu dengan tinta kehidupan,
menghapus luka dengan aroma kopi Arabica, gosongnya jiwaku ini hanya untuk melawan dunia
yang kalut, merajut diksi yang hanya bukan
sekedar pembalut puisi cinta, terlalu banyak manusia yang mengatakan asa tanpa
rasa tapi aku tidak ingin masuk kedalam lubang, lara dan luka yang sama.
Aku terbuang dari kumpulan orang orang yang haus
kemenangan, terlempar kedalam poros yang
gelap mentertawakan semiotika dramaturgi
yang sedang berdalih untuk eksistensinya sendiri, aku lelaki jalang yang
melawan pembodohan sejak dini, menghatam manusia yang di penuhi ambisi tanpa
menggunakan nurani.
Merakit jungkat jangkit logika kembali menghidupkan raga
yang telah sakit, merasa benar dalam kebenaran adalah musuh terbesar bagi diri
sendiri, menikmati nada lembut memolah raga agar tau arah pulang. sunyi, hening dan sepi ini membuat raga
tumbuh dalam kesakitan yang menghadirklan kebahagiaan, bahagia tidak ada yang
hakiki, itu hanya ucapan saja, besok pun akan luka kembali.
Aku menjadi pencipta sejarah untuk diriku sendiri menuliskan
darah, luka , sepi dan lara walau diksi ini tak pernah dikenali, biarkan diksi
ini sepi, biarkan dia hidup dengan sunyi, semua orang bermimpi untuk tinggi
ketika menghantam tanah mereka lupa untiuk berdiri.
Terbuang dari singgsana membuat intuisi ini terbentur lagi dengan
ritme – ritme kehidupan yang memapas raga untuk berteduh dalam ramai,
menyaksikan gelombang vertikal yang dipenuhi keluhan.
Dialektika hidup membuat intuisi ini terhantam dengan cinta
dan perjuangan mengatur irama agar bisa “hidup untuk menghidupkan”.
Aditya permana
2 Mei
2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar