Rabu, 01 Mei 2019

Semiotika dramaturgi


Pada akhirnya kesepian jadi teman sejati, membanting raga yang sedang bermimpi untuk bangkit kembali, menusuk intuisi membuat nadi mati untuk asa yang hilang dalam rasa, aku lupa untuk mensyukuri, dimana sepi  membuat kaki ini lupa untuk berdiri, aku lupa untuk bahagia dimana sunyi menghantam bianglala yang lara, melirik bingkai kenangan merobek ufuk dialektika yang di bayang bayang dinamika semiotika dramaturgi, aku patah bagai ranting yang tergeletak di tanah, aku hancur bagai raga yang terhantam hipotermia  kesepian, aku mati dalam ramai.

Menari dalam kanvas bercumbu dengan tinta kehidupan, menghapus luka dengan aroma kopi Arabica,  gosongnya jiwaku ini hanya untuk melawan dunia yang kalut, merajut diksi yang  hanya bukan sekedar pembalut puisi cinta, terlalu banyak manusia yang mengatakan asa tanpa rasa tapi aku tidak ingin masuk kedalam lubang, lara dan luka yang sama.

Aku terbuang dari kumpulan orang orang yang haus kemenangan,  terlempar kedalam poros yang gelap mentertawakan semiotika dramaturgi  yang sedang berdalih untuk eksistensinya sendiri, aku lelaki jalang yang melawan pembodohan sejak dini, menghatam manusia yang di penuhi ambisi tanpa menggunakan  nurani.

Merakit jungkat jangkit logika kembali menghidupkan raga yang telah sakit, merasa benar dalam kebenaran adalah musuh terbesar bagi diri sendiri, menikmati nada lembut memolah raga agar tau arah pulang.  sunyi, hening dan sepi ini membuat raga tumbuh dalam kesakitan yang menghadirklan kebahagiaan, bahagia tidak ada yang hakiki, itu hanya ucapan saja, besok pun akan luka kembali.

Aku menjadi pencipta sejarah untuk diriku sendiri menuliskan darah, luka , sepi dan lara walau diksi ini tak pernah dikenali, biarkan diksi ini sepi, biarkan dia hidup dengan sunyi, semua orang bermimpi untuk tinggi ketika menghantam tanah mereka lupa untiuk berdiri.

Terbuang dari singgsana membuat intuisi ini terbentur lagi dengan ritme – ritme kehidupan yang memapas raga untuk berteduh dalam ramai, menyaksikan gelombang vertikal yang dipenuhi keluhan.

Dialektika hidup membuat intuisi ini terhantam dengan cinta dan perjuangan mengatur irama agar bisa “hidup untuk menghidupkan”.

Aditya permana


2 Mei 2019



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Surat untuk marsinar #2

Marsinar, perjalanku kini sudah terlalu jauh, aku melihat begitu banyak penderitaan di desa-desa, ada ibu imas yang setiap hari menanam ke...