Minggu, 28 April 2019

Aku masih hidup di lubang sepi dan sunyi

Kali ini aku tak butuh ramai, meringkas diksi yang penuh arti menyukat jiwa terpontang panting rasa yang alergi, aku tak butuh senja kali ini, menghilangkan bayang semu yang palsu, aku sepi seperti malam tanpa bulan, seperti hujan tanpa pelangi, seperti air tanpa muara dan pagi tanpa cahaya. Kini aku terkutuk gelap meringkas bingkai harapan, memotret lara yang penuh luka, merobek asa yang tak pernah jadi rasa,merobek senyuman tanpa belas kasihan.

Tapi tunggu dulu sebelum kau pergi meninggalkan dermaga tanpa ada janji serapah , dengarkan jeritan jiwaku yang penuh luka ini, terpanah gelombang sepi, memutar diksi agar kau berempati, syair yang sukat membuat dirimu hilang terbius aroma sajak yang tak dapat kumiliki, aku berdarah, terpaku dengan rindu yang terpanah, merajut basa basi bisu mencampakan rindu yang kini jadi rindang, kau hadir tanpa lukisan, membuat diriku mati dalam sumpah yang kini hanya jadi sampah, Dengarkan lagi, putarlah badanmu sejenak, simpanlah telingamu dalam diksi yang menyukat, saat dirimu mengeluh aku selalu ada menghantam sarkas agar jiwamu masih utuh, tapi kau balas dengan tumpukan sampah menghianati janji  yang penuh luka.

Sumpahmu memang sampah memberikan dogma yang tak punya warna, dermagamu hanya untuk tahta menyandera diriku masuk kedalam lubang yang penuh luka,  aku patah dengan lukisan yang kucintai, aku bisu dengan pena yang kupandangi , aku hancur lebur bagai bianglala tanpa roda.
Logikaku mati dalam sepi meringkas bayangan bingkai yang hadir dalam mimpi, merobek ufuk rindu demi tahta yang ingin kau miliki, aku hanya lelaki jalang yang mencoba hidup untuk merakit kakiku bangkit kembali, memolah intuisi mendengarkan jeritan yang penuh luka ini, Pergilah dengan harapan, memulai hidup dengan nyaman, kau berhak untuk bahagia tanpa luka, biarkan aku sendiri yang merasakan sepi penuh luka ini, biarkan aku yang terhantam suara – suara sarkas dunia ini, biarkan aku yang mati dalam sepi.

Mengenangmu adalah kronis, membalut asa tanpa rasa, memutar bingkai demi jiwa yang telah kehilangan arah, memapah kembali dalam perjuangan bermimpi lagi untuk hidup yang menghidupankan, menghilangkan permata demi menyembuhkan nadi yang penuh luka.
Aku akan kembali merangkai diksi, merangkai dalam tarian luka agar bahagia memotret asa agar jadi rasa untuk cakrawala yang siap bahagia, aku akan pergi dengan jiwa sunyi merengkah hati membalut luka dengan puisi agar aku tidak mati kembali dalam sepi.

Dulu aku memang terpenjara rindu yang hanya jadi rindang, meringkas kenangan demi ambisi yang menghilanngkan nurani, memotong sayap merpati agar ego dapat kumiliki, bodohnya aku terbuai sumpahmu yang hanya jadi sampah.

Lihatlah diriku yang sekarang, aku bangkit dalam diksi yang penuh luka ini, merakit kembali harapan yang dulu kau panah, memperbaiki bianglala agar darah mengalir kedalam rayya yang hadir untuk bahagia, aku masih ada untuk menolak punah.

Jika kau ingin mencari, carilah aku dalam sepi dan sunyi .

Bandung, 29 april 2019

Aditya permana






Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Surat untuk marsinar #2

Marsinar, perjalanku kini sudah terlalu jauh, aku melihat begitu banyak penderitaan di desa-desa, ada ibu imas yang setiap hari menanam ke...