Dia ada penuh samar memiliki hidup penuh asa, dalam bulan sakral kita bertemu di persimpangan sudut kota, ia tersenyum lepas memutar bianglala penuh asa, ia meringakas semua kebaikan dalam kemanusiaan, pertolongan dalam hatinya menghidupkan nyawa dari hari.
Kala itu aku hadir dengan keringat kebutuhan,memakai satu pasang sedal capit lalu memandang bidadari yang tak pernah mengenali hirarki, aku hadir penuh kegelisahan, memandang ia yang penuh harapan, ia jelita dengan segelas yang ia yang di tawarkan, seakan hidup harus menghidupkan, asia afrika kini menjadi indah dalam dalam sejarah dan romantica, membuat rindu hadir di bulan yang sakral.
Namun ia hanya diam tanpa tanya, membisu menolak hadirnya purnama, cendolnya yang ia genggam kala itu hanya ku pandang dalam diksi yang tak berupa. Ia hanya lari tanpa senyum ataupun memberi resah pada tanda tanya, Memandangmu dalam rayya penuh hikmat selaksa rembulan tanpa cahaya, air mengalir tanpa muara mengatarkan kerikil pada rasa yang tak bernyawa.
Raga bergetar ketika suara kemanusiaan di lantukan,seakan memberi harapan pada raga yang lupa digunakan, seperti ini kah rasa yang tak berupa, memolah diksi menghilangkan jati diri pada karya sendiri, aku lupa, aku rasa dan dia hanya diam dalam diksi yang tak berupa.
Menari – nari dalam kilat doa dini hari kurebut doa agar dapat tersiati, memeluk lukisan yang tak dapat ku gambarkan, seketika bianglala berputar teringat kembali pada waktu kita bertatap tanpa ratap, dalam ransel yang kubawa banyak sekali coretan diksi, camera dan kanvas, dan itu senua hanya memudar dengan karingat dan sedal capit yang terhantam kisah cendol di kota parahyangan.
Aku malu pada rembulan mengapa dipertemukan dengan jelita dan aku tidak pantas berjalan pada kisah kasih yang kau pertunjukan, selaksa mentari membasahi jiwa, kini penaku tak menari kembali, hanya diam membisu menghayati karya tuhan yang memberikan harapan raga raga dan penuh kegelapan.
Aku memang suka dengan cendolmu walaupun tak ada suara sekalipun. Asia afrika masih tetap menjadi sejarah bagi kembang dan cendol yang terbawa arus romantica parahyangan, kita tak akan menjadi abu dan kita memang tak pernah menghadirkan kayu, kita tak akan menjadi apa apa dan kita memang tidak pernah menuliskan apa apa, tapi sungguh saat ini aku merindukan segelas cendol pemberiaanmu.
Memang benar kita tidak akan menjadi abu, kita tak pernah punya kayu untuk di rindukan, kita hanya ampas, seperti kopi ia hanya gelap dan tak berupa, masih ingat dengan selendang ijo yang kau pakai di taman kota, seperti itulah cendol yang kau tawarkan pada poros damai memberikan sebuah bakti sosial pada jiwa-jiwa yang membutuhkan .
Di taman kota aku duduk terpaku memandang cendol yang menghadirkan hakikatnya kota kembang, kau berseri, bahagia, walau aku tidak pernah tau apa yang sedang kau nikmati.
Bodohnya aku yang tidak merasakan nikmatnya cendol itu, bukannya tidak ingin kala itu seketika badanku bergemetar ketika suara lembut yang kau kumandangkan, aku malu, tak ada diksi ataupun syair yang pantas ku keluarkan pada waktu itu, aku hanya memilih diam, seperti apa yang kau lakukan pada rembulan, memilih diam untuk tidak memiliki suara yang berupa.
Entahlah, apa yang harus kulakukan, memiliki dialektika pada cendol yang tetap ku rindukan, memang sial cendol ini menghadirkan rindu yang mendalam, ingin sekali ku mengulangi waktu dan berbicara bahwa cendolmu telah berhasil membuat diksi ini bernyawa dalam kisah kasih kota kembang.
Dan hari ini pada tanggal 28 juni aku pergi lagi ke tempat dimana cendol itu menari, riuhnya angin kota membuat rindu ini terombang ambing dalam kamuflase romantica, ia senyap, ia sepi dan ia hanya diam, susahnya merakit diri untuk berdiri, memolah asa agar kita masuk kedalam rasa, tapi semua tidak sesuai dengan apa yang aku harapkan, kau pergi tanpa pesan begitu pula kau hadir tanpa tanya aku sepi bersama cendol yang tak berupa hanya terhantam bayangan yang tidak akan pernah jadi nyata.
Memang benar, kita tidak pernah menanmkan apa-apa dan tidak akan pernah menjadi apa-apa, aku rindu memandang cendolmu selaksa jagat penuh warna, dimana riang menjadi sebuah alasan raga ini bermimpi dalam raya.
Bilamana memang diksi yang tak pernah menjadi berupa, aku akan kembali lagi seperti dulu dimana sepi di temani dengan tembakau dan segelas kopi, bilamana cendol berhenti menari aku akan kembali diam memandang rembulan mensiasati hati tanpa pena, bilamana memang kau tidak merasakan apa-apa berarti aku hadir hanya seperti tanpa muara, kau bahagia begitu pula dengan asia afrika yang penuh romantica, jika kau ingin mencari, carilah aku dalam sepi, dimana aku selalu memandang cendol yang penuh arti di bulan yang suci, terimakasih telah menghadirkan diksi yang tak berupa ini.
Lalu apa yang harus kulakukan, sedangkan rindu selalu menghantam kanvas yang susah untuk ku lukiskan, dimna kanvas diam sendiri menepi dari rindu cendol yang selalu riang dan menari, aku muak jadi lelaki yang terbuang, aku muak jadi lelaki yang tak mampu berkata cinta, kau diam penuh asa tapi aku rindu dengan rasa, apalagi yang harus kukatakan, aku bingung dengan pelangi tanpa warna, tapi kau hadir penuh tanya.
Suara yang berupa kau kirim pada poros yang fana, kau bilang ,“ jika memang cendol menjadi inspirasi bagi dirimu, lakukanlah dengan senang hati, dan jangan pernah mendengarkan apa yang mereka katakan”, begitu mudahnya kau datang memberi harapan tanpa koma, kau membuatku bingung dalam realita, dimana cendol masih terbayang dalam camera yang selalu kubawa, jika memang rindu ini hanya akan menjadi rindang aku siap kembali menjadi jiwa yang dibuang, biarkan aku yang merasakan semuanya, biarkan dirimu bertanya-tanya, karena rasa tidak pernah menangatakan tanya untuk di jawab, biarkan semuanya pada muara parahyangan , kau berhak mengadili rindu yang tak bersifat dua sisi, karena kita memang tidak pernah menanamkan apa apa dan tidak akan menjadi apa apa.
Jika memang aku hanya diam di lorong yang terbuang, aku siap menerima diksi yang tak berupa ini dengan nurani, terimakasih telah datang untuk pergi kembali dan aku akan tetap hadir jika cendol itu menari lagi.
Semuanya datang lalu pergi lagi apakah memang jalannya seperti ini, apakah aku harus diam untuk memandang kisah yang belum menjadi kasih, biarkan tulisan ini abadi, biarkan semuanya menari, dan aku akan tetap menikmati cendol yang menari.
Kau harus tau mengapa aku tulis cendol ini menjadi kisah yang tak berkasih, kau berhak bertanya tanpa kecup dan ratap, memolah setiap kisah yang pernah terjadi di asia afrika, aku terbentuk dengan rindu yang hanya jadi rindang, tanpa sedikit pun kata yang kau perlihatkan pada kota kembang, aku menyesali dimana jln .turangga akan menjadi saksi pertemuan kita kembali tapi aku memilih diam untuk menyepi di tugu api, aku malu mengapa rasa ini hadir pada cendol yang menari.
Malam ini kita betemu kembali dalam ruangan fana membicarakan cendol yang tak pernah menjadi kasih, terlihat banyak yang mendengar begitu pula ada yang mengatakan bahwa cendol ini penuh arti, namun mereka tidak akan pernah mengerti tentang segelas cendol yang terjadi padaku saat ini, mungkin saat ini ia tertawa di atas tempatnya tidur, melihat jiwaku yang rapuh oleh rindu dalam rindang, dan mungkin jiwamu sedang meresapi lirih ini ditemani angin kota parahyangan yang membawa selaksa cinta penuh tanya, aku bahagia dengan malam ini, dimana menikmati fana penuh hikmat tanpa koma, biarkan cendol ini kita berdua saja yang memahami, biarkan cendol ini abadi, dan aku akan tetap menikmati cendol itu menari dalam paguyuban yang ada di parahyangan
Tapi dalam hal ini aku ingin menjadi nyata bukan fana, dan aku ingin hadir penuh tawa bukan diam memandang ruangan fana yang penuh tanda tanya, hadirlah dalam jiwaku yang pernah terbuang, hadirlah pada mimpiku yang telah mati dalam kisah yang dulu penuh luka dan hadirlah dalam diksi cendol yang akan membuat warna untuk kota kembang tercinta.
Aku hanya ingin menjadi nyata bukan diam lalu memandang dunia fana yang tak bersuara, salahkah aku merindukan kisah walau tak berkasih, salahkah aku mencintaimu tanpa tanya, salahkah aku menjadi lelaki gelap yang ingin bermimpi menjadi pelita rayya untuk jelita segelas cendol penuh makna dan aku ini menjadi nyata,cuman itu saja dan tidak lebih.
Mungkin saat ini ia bertanya –tanya , lalu kapan kita akan menjadi nyata, kapan kita akan menjadi insan yang menatap rembulan pada kisah parahyangan, kapan kita akan menjadi cendol penuh tawa dan bahagia bukan rindang dalam tanya, dan kapan kita akan menjadi malam penuh bintang melukis kalimat perjuangan untuk poros yang aku impikan.
Tapi jika memang diam membuatmu nyaman, silahkan lakukan apa sedang kau inginkan, kau berhak menjadi api pada kayu meruntuh diri untuk menikmati bianglala yang penuh hirarki, dan saat ini aku tidak bisa berbuat apa-apa hanya bisa memandang dan berdoa agar asa menjadi rasa,lalu aku hanya bisa diam memandang cendol kota kembang dan sedang berusaha menjadikan kisah ini jadi nyata tanpa tanya.
Jika memang tidak bisa, ijinkanlah aku untuk menuliskan kisah ini tanpa abu , menikmati setiap syair yang penuh syahdu walau kita jarang bertatap tanpa tatap, aku ingin kau bahagia tanpa luka,lara dan derita.
Dan aku hanya seorang lelaki pecundang yang tak berani mengatakan rasa pada sang rembulan, akku hanya bisa diam dan berharap kita bisa menjadi nyata di kota parahyangan, mimpiku terlalu besar hingga mengkebiri harapan yang ada di kepala, terlalu egois dengan diri sendiri dan terlalu kerdil memikirkan rasa yang belum pasti.
Tapi aku lebih memilih seperti ini, dimana aku sedang merangkai kata dan ingin berjuang untuk membuatmu percaya pada rembulan bahwa aku adalah manusia jalang yang pernah terbuang dari kumpulannya.
Aku memang penuh luka tapi hari ini aku ingin bahagia, dan kita memang fana tapi mimpi dan asaku masih akan tetap ada dan berjuang untuk membawa raga ini bertemu kembali dalam dunia yang nyata.