Selasa, 30 Juli 2019

Rindu yang menggugat #10



Di bawah payung hitam,
kita berdiri,menantang kerakusan,
menentang penindasan,
menentang kekuasaan yang membuat cinta menghilang
jauh ke pulau-pulau yang diasingkan,
kita sama,sama memiliki jantung yang berdebar atas nama kemanusiaan,
kita lebih memilih hilang,daripada memuja senja dari tangan para pelukis palsu,
sempat ku kagumi senja di buku-buku sejarah,
tetapi kini,senja diperkosa terus menerus
oleh penyair industri yang haus materi dan eksistensi
kita berdua, masih dengan tangan terkepal
dihadapan gedung pencakar rakyat
bersuara lantang untuk menuntut keadilan cinta yang seharusnya di perjuangankan,cinta untuk mereka yang dilenyapkan dan di asingkan,
air mata kita sama,
turun dari airmata bocah kecil
yang kelaparan dipelosok desa,
air mata kita sama,
jatuh di sawah para petani
yang tanahnya terjual atas omong kosong pembangunan,
kala itu dilingkaran payung hitam
kami berdiskusi, dengan suara serak peradaban
kami berteriak tentang kemanusiaan
tentang mata widji yang hilang entah kemana,
tentang racun yang diteguk munir dan membuatnya abadi
tentang besi yang masuk didalam vagina marsinah
dan membuatnya orgasme sampai ke surga
Aditya permana
Kamisan

Rindu yang menggugat #9

Mencintaimu membuat ragaku harus tetap merawat tanah dan air
Mencintaimu membuat jiwaku harus tetap bertahan untuk melawan serdadu yang akan menyakiti
Mencintaimu membuat kakiku tetap ada di bawah payung hitam,  diam dan berani
Mencintaimu membuat mataku tetap memandang orang orang yang kelaparan

Dan lihatlah kekasihku,  begitu banyak jeritan luka di pelosok desa
Banyak pemuda yang diam tanpa kerja
Banyak alam yang di perkosa

Kekasihku,  kotaku kini sudah ambigu
Semuanya hanya berdalih demi perut pribadi
Mereka hanya bisu ketika penggusuran yang terjadi di taman sari

Kekasihku,  kotaku kini sudah banyak mencetak jiwa jiwa yang berdasi namun buta akan kemisikinan dan keadilaan

Kekasihku, lihatlah mereka dimana setiap hari menyerukan surga tapi diam ketika bocah bertopi koran menangis ingin merasakan bangku pendidikan

Kekasihku,
mencintamu bukan tentang memandang senja lalu pergi begitu saja

Kekasihku,
lihatlah masih banyak cinta yang harus di perjuangkan

Kekasihku,
Bangunlah mari kita ikut berjuang demi menghapus perbudakan dan keserakahan.

Aditya permana
Taman sari
24 juli 2019

Senin, 22 Juli 2019

Rindu yang menggugat #8


Tuangkan cendol ini
Pada kamar gelap dan sunyi
Bahwa rindu ini membuat kepala jadi depresi
Melalui nadi dan luka
Tempat kita bertemu
Merangkai irama demi lahirnya harmoni
Sementara ku kenang wajahmu
Bersama rindu dan penderitaanku
Di atas meja yang ku tumpahi secangkir kopi

Irama bandung lautan api mengatarkan ragaku
Pada bangunan tua asia afrika
Menikmati rindu dalam gejolak rasa gaungan siliwangi
Demi pasundan yang terlukis keharmonisan
Yang tak mampu mencium daun kamojang di sepanjang malam
Demi kota kembang yang penuh kenangan
Akan ku antarkan puisi ini
Pada jiwamu yang terbunuh kegelisahan
Tidurlah manisku,  kan kujaga asamu walau badanku harus tenggelam di dalam lautan yg penuh  bayang -  bayang.
Aditya permana
Bandung
2019

Sabtu, 20 Juli 2019

Rindu yang menggugat #7

Jangan salahkan diriku jika rindu yang menggugat ini selalu membayangi hingga tempat tidurmu,  aku akan tetap ada walau sekalipun kau lempar gejolak rasa ini pada lorong gelap yang sering dikerdilkan doa dalam lingkaran semesta

Jangan salahkan diriku jika cinta ini membuatmu bingung pada serangkaian konotasi yang memaksa jiwaku untuk hidup dalam lubang gelap dan sunyi walau asaku terpanah dengan kehidupan pedih

Kekasihku,  kau tidak usah takut dengan raga hitam ini,  aku hanya sedang melawan kemunafikan diri,  biarkan aku abadi dengan kisah segelas cendol asia afrika yang penuh lukisan romantica

Kau berhak bertanya tanpa harus diam dalam putaran bianglala kehidupan ini,  kau berhak pergi jika rinduku tenggelam dalam lautan yang tak berwarna

Dan kau berhak membuang rasaku pada lorong  yang menyakitkan,  karena aku adalah jalang yang terbuang dari kumpulan orang - orang yang haus kemenangan dan kasih sayang. 

Aditya permana
Kampus biru

Rindu yang menggugat #6


Bisingnya suara kota melemparkan harmoni rindu ini pada harmonika yang tak bernada, menyepi di balik gedung tinggi yang penuh dengan badut berdasi, hingga rindu ini terasingkan dalam paradigma kiri, bahwa korporat tak pernah mengenal hirarki dan melindungi

Rindu ini hilang ketika jeritan anak kecil di pusat kota yang mengantarkan sebuah surat bahwa kemanusiaan lebih penting dari cerita senja yang buta akan perampasan tanah lalu bisu dalam kemiskinan dan kelaparan

Kekasihku,  bilamana rinduku ini membuatmu takut untuk mengenal kamerad yang sedang berjuang membangun buku buku jalanan lalu tak pernah mundur dengan bayangan peluru serdadu kebusukan,  biarkan dirimu diam lalu aku akan berjuang demi tercipta keadilaan bagi kaum yang termajinalkan

Bilamana cintaku ini membuatmu takut untuk mengenal dunia payung hitam,  maka lebih baik kau tidur saja dalam tempat tidur yang nyaman, lalu jangan cemas,  ketika suatu saat nanti ada kabar dari koran pagi bahwa aku hilang dan tidak pernah ditemukan kembali

Bilamana aku mati dalam rindu yang menggugat ini, maka,  kau harus bangun untuk mengabarkan sajak-sajak tentang hidup untuk menghidupkan bahwa suaraku akan tetap hidup di garis perjuangan walau ragaku hilang dan di lenyapkan

Rindu yang menggungat #5



Burung merpati terbang jauh meninggalkan damainya gunung merbabu 
Kurebahkan badan di ladang savana menikmati segelas kopi di atas samudera

Kau mengajakku bercumbu dalam fantasi meninggalkan jejak rindu di lembah mandalawangi
Dan kau juga membuang ragaku pada lubang yang penuh kesakitan

Tapi dengarlah kekasihku
Hari ini aku ingin bercerita tentang puisi-puisi cendol yang berserakan di ranjang tidur bahwa aku ingin merdeka dengan segala gelap dan luka

Kekasihku, hari ini aku ingin bercerita tentang perempuan tua yang di seret keluar rumah dan dari hidupnya atas nama pembangunan kota  kemakmuran yang katanya untuk bersama

Kekasihku, hari ini aku ingin bercerita tentang serdadu -  serdadu yang melepas peluru kepada pemuda desa yang melawan demi menjaga tanah moyangnya

Kekasihku,  hari ini aku ingin bercerita tentang kesedihan anak kecil yang tak mampu merasakan bangku pendidikan lalu kelaparan dan diam membungkuk di sudut kota

Maka kuharap jika kau punya cinta jangan pernah berhenti berjuang untuk merawat segela luka yang mereka rasa,  karena kita berhak merdeka bersama jiwa dan raganya

Kekasihku,  marilah kita menjadi nyata untuk merawat duka bukan hanya diam lalu membiarkan luka membunuh semuanya.
Aditya permana
Kampus biru
21 juli 2019

Jumat, 19 Juli 2019

Rindu yang menggugat 3


Tetap tenang dalam gelombang lautan Kidul
Walau diam tanpa warna lalu terhantam karang
Hingga lupa dengan asia afrika yang telah membuatku jatuh cinta pada indahnya sungai cikapundung yang ada di jalan braga kota kembang

Tetap damai dalam kota ini walau dulu pernah membara menjadi api namun kau tak akan mengerti bahwa ada sangkuriang yang menggugat rindu di tanah legenda ini

Tetap diam dalam indahnya gunung papandayan walau sunyi dan sepi,  kita masih tetap akan ada dalam kisah pasundan yang penuh lukisan romantica

Tetap bisu dalam harmoni balai kota walau karang akan tetap menari dalam damainya kota kembang
Kau berhak pergi dan akan ku antarkan kedalam gaungan siliwangi




Aditya permana
Sungai cikapundung
19 juli 2019

Rindu yang menggugat 2



Tusuk saja sepi ini dengan bambu runcing lalu antarkan ragaku pada malam yang penuh aurora
Karena Kita masih tetap sunyi lalu menyekat Sribaduga dalam tugu api tegalega

Ikat saja gelap ini dengan bom hirosima lalu antarkan mimpiku pada poros yang penuh tanda tanya
Karena Kita masih tetap diam tanpa jeda walau salim kancil mati di bunuh para penguasa lalu pemuda hanya bisu tanpa kata

Lemparkan saja mimpi ini pada letusan galunggung yang membuat bumi menjadi gelap
Lalu antarkan asaku pada sejarah yang ada di tambora
Karena Kita masih tetap bisu tanpa tanya walau bandung terlahir ketika tuhan sedang tersenyum  dalam nada angklung yang mendamaikan tanah sunda.

Hancurkan saja cerita ini pada selipat teori yang basi tanpa harus berkata monolog dan epilog diri
Kita masih tetap tiada dalam ketiadaan bulan ini karena kita tidak terlalu masuk kedalam cerita yang ada di bulan juni

Kekasihku,  Pukul saja wajahku bila rindu ini membuat dramaturgi lupa dengan narasi panggungnya sendiri lalu hilang dalam bola mata para audiensi

Biarkan kita masuk kedalam cerita bandung lautan api dimana gejolak rasa ini akan membara pada tempat romantis yang ada di jalan braga
Biarkan sekali lagi kita masuk ke dalam cerita Asia afrika dimana kemanusiaan lebih penting dari segala - galanya

Biarkan aku diam pada indahnya tangkuban perahu dimana penolakan cinta akan membuat sejarah bagi dunia dan kota bandung tercinta. 
Dan kau pergilah bersama irama suling yang  membuat segelas cendol berkata dalam fana namun hilang untuk nyata

Aku hanya jalang yang tak pernah mengatakan kemenangan lalu sunyi dalam lubang yang sering terbuang. 




Aditya permana
Sungai cimanuk
19 juli 2019

Kamis, 18 Juli 2019

Badanku busuk di koyak aksara

Tubuhku tercium bau kencur menjelma menjadi bangkai dalam arwana tanpa nirwana,  memikat malam tertusuk hipotermia lalu diam dalam kerinduan yang fana, ku ikat kembali tambang kepalsuan menjadikan kamojang sebagai terdakwa kegelapan, horizontal mendekap vertikal  dramaturgi untuk bercumbu dengan kisah air tuba tanpa pusara,  malam hanya gelap, pusaka cinta membawa kepala pada syair yang mati dalam segelas arak, kau tertawa bagai ratu romawi tanpa persia, dan diammu bagaikan letusan krakatau yang membelah pulau jawa, apa kau masih ingat dengan gejolak rasa ini, hingga asamu lupa bahwa belanda telah lama membasmi nene moyang kita, baiklah merpati dalam dirimu hanya bisa berpikir hingga aurora tanpa harus menyatakan apa saja yang ada di luar angkasa.

Kupikir mimpimu hingga ranu kumbolo nyatanya hanya sebatas kebun binatang tanpa harus berlari untuk menghilangkan, bahwa rindumu penuh kepalsuan.

Kau menantang kasih, kau hanya bisu lalu membuat ragaku masuk kedalam lubang yang terpaksa untuk melawan malam oleh pedang tanpa harus menjadi pemenang.

Jika kau ingin mengenalku, kenanglah jiwaku dalam harum nya bunga abadi di mandalawangi,  kau akan mengerti bahwa hidup bukan hanya  tentang menghakimi lalu mencintai.

Jika kau ingin melawan, lawan saja kepalsuan itu,  kau tidak pantas berbohong dalam kemunafikan,  jangan pernah samakan ragaku dengan menara bibel yang menantang untuk menembus langit ke 7, itu sangat tidak bisa dan tidak akan pernah bisa.

Lalu jangan pernah pergi jika hidupmu tidak ingin disamakan dengan kisah soviet yang hancur lebur, tanpa ada yang mencintai.

Kau berhak hidup tanpa alasan dunia sofhie, biarkan filasafatmu berjalan pada kesepian marjinal yang selalu saja diam dalam ketiadilaan. Jika ingin hidup lawanlah kepalsuan, jika ingin mati teruslah menebar kebohongan tanpa harus mencium kamojang yang ada di lorong kegelepan.

Aku hanya orang malam yang mencintai siang
Aku hanya gelap yang menghabiskan waktu dalam dekepan heurmenetic tanpa adanya kasih sayang.

Mulutmu berbicara tentang budaya tapi ketika di tanya adidaya kau diam tanpa kata, kakimu melangkah begitu cepat dan hebat dengan sebuah pertanyaan tapi ketika solusi dalam populasi ego sendiri kau mendadak ambigu dengan diksi ini.
Tangan tangan tangan dan tanganmu lumpuh ketika di tanya kemanusiaan.

Biarkan
Dan aku kembali pada buku bumi manusia dimna gelap, sepi, dan sunyi berhasil mengabarkan kepada manusia bahwa ketidakadilaan dan kemiskinan masih tetap berjaya di seluruh dunia.





Aditya permana
Sekolah inggid soegarnasih
13 juli 2019
Bandung

Jumat, 12 Juli 2019

Rindu yang menggugat 1

Apakah kau tau ketika purnama bergelut dengan diksi manson bahwa untuk bersikap seni itu harus bodo amat, begitulah selaksa romawi menari dalam kerinduan yang abu

Apakah kau tau ketika bianglala berputar, aku terhantam dengan kebohongan amstrong bahwa rindu candumu telah menyukat polesan cendol di  kota kembang

Apakah kau tau dengan cinta tanpa kemerdekaan, Itu sangatlah hampa, dan aku sedang merasakan gelap tanpa indahnya gunung tambora

Apakah kau tau dengan kisah filosofi kopi, diam berdua menikmati aroma tanpa jeda dan koma walau sunyi penuh tanya

Apakah kau tau dengan soe hok gie, menimpa rindu di mandalawangi namun mati dalam sunyinya cinta gunung semeru

Apakah kau tau dengan cinta tanpa rindu,
Seperti itulah tan malaka di asingkan lalu di lenyapkan

Apakah kau tau dengan rindu tanpa perjuangan
Seperti itulah pemuda yang melupakan madilog lalu terbayang epilog tanpa prolog

Kekasihku, Aku merindukanmu tanpa kata melirih tanya walau dunia sophie membuatku masuk kedalam lubang yang fana

Kekasihku, Kau hanya diam tanpa suara membuat merpati terbang tertembak laras panjang lalu mati terdampar di pulau buru

Kekasihku, Ku ingatkan sekali lagi jiwaku serasa bergetar ketika namamu terbayang lalu membuat galunggung meletus dalam aroma kerinduan.

Kekasihku, Aku rindu dan akhirnya jiwa ini masuk kedalam air tanpa muara.

Memaksa meneguk arak dalam poros paguyuban melirih sendu menikmati lukisan realis tanpa pilu
Kekasihku, Aku adalah hitam tanpa putih
Dan wijaya tanpa rayya
Lalu Sayup rindu membuat vulkanik menghantam seluruh mimpiku
Aku muak dengan raga yang terbuang dari poros keindahan

Aku rindu tanpa tanya
Dan kau berhak pergi tanpa koma


Aditya
Gedung indonesia mengunggat
Bandung 11 jul 2019


Rabu, 03 Juli 2019

Kisah segelas cendol di kota kembang


Dia ada penuh samar memiliki hidup penuh asa, dalam bulan sakral kita bertemu di persimpangan sudut kota, ia tersenyum lepas memutar bianglala penuh asa, ia meringakas semua kebaikan dalam kemanusiaan, pertolongan dalam hatinya menghidupkan nyawa dari hari.

Kala itu aku hadir dengan keringat kebutuhan,memakai satu pasang sedal capit lalu memandang bidadari yang tak pernah mengenali hirarki, aku hadir penuh kegelisahan, memandang ia yang penuh harapan, ia jelita dengan segelas yang ia yang di tawarkan, seakan hidup harus menghidupkan, asia afrika kini menjadi indah dalam dalam sejarah dan romantica, membuat rindu hadir di bulan yang sakral.

Namun ia hanya diam tanpa tanya, membisu menolak hadirnya purnama, cendolnya yang ia genggam kala itu hanya ku pandang dalam diksi yang tak berupa. Ia hanya lari tanpa senyum ataupun memberi resah pada tanda tanya, Memandangmu dalam rayya penuh hikmat selaksa rembulan tanpa cahaya, air  mengalir tanpa muara mengatarkan kerikil pada rasa yang tak bernyawa.

Raga bergetar ketika suara kemanusiaan di lantukan,seakan memberi harapan pada raga yang lupa digunakan, seperti ini kah rasa yang  tak berupa, memolah diksi menghilangkan jati diri pada karya sendiri, aku lupa, aku rasa dan dia hanya diam dalam diksi yang  tak berupa.

Menari – nari dalam kilat doa dini hari kurebut doa agar dapat tersiati, memeluk lukisan yang tak dapat ku gambarkan, seketika bianglala berputar  teringat kembali pada waktu kita bertatap tanpa ratap, dalam ransel yang kubawa banyak sekali coretan diksi, camera dan kanvas, dan itu senua  hanya memudar dengan karingat dan sedal capit yang  terhantam kisah cendol di kota parahyangan.

Aku malu pada rembulan mengapa dipertemukan dengan jelita dan aku tidak pantas berjalan pada kisah kasih yang kau pertunjukan, selaksa mentari membasahi jiwa, kini penaku tak menari kembali, hanya diam membisu menghayati karya tuhan yang memberikan harapan raga raga dan penuh  kegelapan.

Aku memang suka dengan cendolmu walaupun tak ada suara sekalipun. Asia afrika masih tetap menjadi sejarah bagi kembang dan cendol yang terbawa arus romantica parahyangan, kita tak akan menjadi  abu dan kita memang tak pernah menghadirkan kayu, kita tak akan  menjadi apa apa dan kita memang tidak pernah  menuliskan apa apa, tapi sungguh saat ini aku merindukan segelas cendol pemberiaanmu.

Memang benar kita tidak akan menjadi abu, kita tak pernah punya kayu untuk di rindukan, kita hanya ampas, seperti kopi ia hanya gelap  dan tak berupa, masih  ingat dengan selendang ijo yang kau pakai di taman kota, seperti itulah  cendol yang kau tawarkan pada poros damai memberikan sebuah bakti sosial pada jiwa-jiwa yang membutuhkan .

Di taman kota aku  duduk terpaku memandang cendol yang menghadirkan hakikatnya kota kembang, kau berseri, bahagia, walau  aku tidak  pernah tau apa yang sedang kau nikmati.

Bodohnya aku yang tidak merasakan nikmatnya cendol itu, bukannya tidak ingin kala itu seketika badanku bergemetar ketika suara lembut yang kau kumandangkan, aku malu, tak ada diksi ataupun syair yang pantas ku keluarkan pada waktu itu, aku hanya memilih diam, seperti apa yang kau lakukan pada rembulan, memilih diam untuk tidak memiliki suara yang berupa.

Entahlah, apa yang harus kulakukan, memiliki dialektika pada cendol yang tetap ku rindukan, memang sial cendol  ini menghadirkan rindu yang  mendalam, ingin  sekali ku mengulangi waktu dan berbicara bahwa cendolmu telah berhasil membuat diksi ini bernyawa dalam kisah kasih kota kembang.

Dan hari ini pada tanggal 28  juni aku pergi lagi ke tempat dimana cendol  itu menari,  riuhnya angin  kota membuat rindu  ini  terombang ambing dalam kamuflase  romantica, ia senyap,  ia  sepi dan ia hanya diam,  susahnya merakit diri untuk berdiri, memolah asa agar kita masuk kedalam rasa,  tapi semua tidak sesuai dengan apa yang aku harapkan, kau pergi tanpa pesan begitu pula kau hadir tanpa tanya aku sepi bersama cendol yang tak berupa hanya terhantam bayangan yang  tidak  akan pernah jadi nyata.

Memang benar, kita tidak pernah menanmkan apa-apa dan tidak akan  pernah menjadi apa-apa, aku rindu memandang cendolmu selaksa jagat penuh  warna, dimana riang menjadi sebuah alasan raga ini bermimpi dalam raya.

Bilamana memang diksi yang  tak pernah menjadi berupa, aku  akan kembali lagi seperti dulu dimana  sepi di temani dengan tembakau dan segelas kopi, bilamana cendol berhenti menari aku  akan kembali diam memandang rembulan mensiasati hati tanpa pena,  bilamana memang kau tidak merasakan apa-apa berarti aku hadir hanya seperti tanpa muara, kau bahagia begitu pula dengan asia afrika yang penuh romantica, jika kau ingin mencari, carilah aku dalam  sepi, dimana aku selalu memandang cendol yang penuh arti di bulan yang suci, terimakasih telah menghadirkan  diksi yang tak berupa ini.

Lalu apa yang harus kulakukan, sedangkan rindu selalu menghantam kanvas yang susah untuk ku lukiskan, dimna kanvas diam sendiri menepi dari rindu cendol yang selalu riang dan menari, aku muak jadi lelaki yang terbuang, aku muak jadi lelaki  yang tak mampu berkata cinta, kau diam penuh asa tapi aku rindu dengan rasa, apalagi yang harus kukatakan, aku bingung dengan pelangi tanpa warna, tapi kau hadir penuh tanya.
Suara yang berupa kau kirim pada poros yang fana, kau bilang ,“ jika memang cendol menjadi inspirasi bagi dirimu, lakukanlah dengan senang hati, dan  jangan pernah mendengarkan apa yang mereka katakan”, begitu mudahnya kau datang memberi harapan tanpa koma, kau membuatku bingung dalam realita, dimana cendol masih terbayang dalam camera yang selalu kubawa, jika memang rindu ini hanya akan menjadi rindang aku siap kembali menjadi jiwa yang dibuang, biarkan aku yang merasakan semuanya, biarkan  dirimu bertanya-tanya, karena rasa tidak pernah menangatakan tanya untuk di jawab,  biarkan semuanya pada muara parahyangan , kau berhak mengadili rindu yang tak bersifat  dua sisi, karena kita memang tidak pernah menanamkan apa apa dan tidak akan menjadi apa apa.

Jika memang aku hanya diam di  lorong   yang terbuang, aku  siap menerima diksi yang tak berupa  ini dengan nurani, terimakasih  telah  datang untuk pergi kembali dan  aku akan  tetap hadir jika cendol  itu menari lagi.

Semuanya datang lalu pergi lagi apakah memang jalannya seperti ini, apakah aku harus diam untuk memandang kisah yang belum menjadi kasih, biarkan tulisan ini abadi, biarkan semuanya menari, dan aku akan tetap menikmati cendol  yang menari.

Kau harus tau mengapa aku tulis cendol ini menjadi kisah  yang  tak berkasih, kau berhak bertanya tanpa  kecup dan ratap, memolah setiap kisah yang pernah terjadi di asia afrika, aku terbentuk dengan rindu  yang hanya jadi rindang, tanpa sedikit pun kata yang kau perlihatkan pada kota kembang, aku menyesali dimana jln .turangga akan menjadi  saksi pertemuan kita kembali tapi  aku  memilih diam untuk menyepi di  tugu api, aku malu  mengapa  rasa  ini hadir  pada cendol yang menari.

Malam ini kita betemu kembali dalam ruangan fana  membicarakan cendol yang tak pernah  menjadi  kasih, terlihat banyak yang mendengar begitu  pula ada yang  mengatakan  bahwa cendol ini  penuh  arti, namun mereka tidak  akan pernah mengerti tentang segelas cendol yang terjadi padaku  saat  ini, mungkin  saat ini ia tertawa di atas  tempatnya  tidur, melihat jiwaku yang rapuh oleh rindu  dalam  rindang, dan  mungkin jiwamu sedang  meresapi   lirih ini ditemani angin kota parahyangan yang membawa selaksa cinta penuh tanya, aku bahagia  dengan malam ini, dimana menikmati fana penuh  hikmat tanpa  koma,  biarkan  cendol ini  kita berdua saja yang  memahami, biarkan cendol ini  abadi, dan aku akan  tetap menikmati  cendol  itu  menari dalam paguyuban yang  ada di parahyangan
Tapi dalam hal ini  aku  ingin menjadi nyata bukan fana,  dan aku ingin hadir  penuh tawa bukan  diam  memandang  ruangan  fana  yang  penuh  tanda tanya,  hadirlah dalam  jiwaku  yang  pernah terbuang,  hadirlah pada mimpiku yang telah mati dalam kisah yang  dulu penuh  luka dan hadirlah dalam  diksi cendol yang akan membuat warna untuk kota  kembang tercinta.

Aku hanya ingin menjadi  nyata bukan diam lalu memandang dunia  fana  yang  tak  bersuara, salahkah aku merindukan kisah  walau  tak berkasih, salahkah aku mencintaimu tanpa tanya, salahkah aku menjadi lelaki gelap yang ingin bermimpi  menjadi pelita rayya untuk jelita segelas cendol penuh makna dan aku  ini menjadi nyata,cuman itu saja dan  tidak lebih.

Mungkin  saat  ini ia bertanya –tanya , lalu kapan kita akan menjadi nyata, kapan  kita akan menjadi insan yang menatap rembulan  pada kisah parahyangan, kapan kita akan menjadi cendol penuh   tawa dan bahagia bukan rindang dalam tanya, dan kapan kita akan menjadi malam penuh bintang melukis kalimat perjuangan untuk poros yang aku  impikan.

Tapi jika memang diam membuatmu   nyaman, silahkan  lakukan apa sedang kau  inginkan, kau berhak  menjadi  api pada kayu meruntuh diri  untuk menikmati bianglala yang penuh hirarki, dan  saat ini aku tidak  bisa berbuat apa-apa hanya bisa memandang dan berdoa agar asa menjadi rasa,lalu aku  hanya bisa diam memandang cendol kota kembang  dan sedang berusaha menjadikan kisah  ini jadi  nyata tanpa  tanya.

Jika memang tidak bisa, ijinkanlah  aku untuk menuliskan  kisah  ini tanpa  abu ,  menikmati  setiap syair yang penuh syahdu  walau  kita  jarang bertatap tanpa tatap, aku ingin kau  bahagia  tanpa  luka,lara dan derita.
Dan aku hanya seorang lelaki  pecundang yang tak  berani  mengatakan  rasa pada sang  rembulan, akku hanya bisa diam dan berharap kita bisa menjadi  nyata di  kota parahyangan,  mimpiku  terlalu  besar hingga mengkebiri harapan  yang ada di kepala, terlalu egois dengan diri  sendiri dan terlalu kerdil memikirkan rasa yang  belum pasti.

Tapi aku lebih memilih  seperti ini, dimana aku  sedang merangkai kata  dan ingin berjuang   untuk membuatmu percaya pada rembulan bahwa  aku adalah  manusia  jalang  yang  pernah terbuang dari kumpulannya.

Aku  memang penuh luka  tapi hari  ini aku ingin bahagia, dan kita memang fana tapi mimpi  dan asaku masih akan tetap ada dan berjuang untuk  membawa raga ini bertemu kembali dalam dunia  yang  nyata.





Surat untuk marsinar #2

Marsinar, perjalanku kini sudah terlalu jauh, aku melihat begitu banyak penderitaan di desa-desa, ada ibu imas yang setiap hari menanam ke...