Rabu, 03 Juli 2019

Kisah segelas cendol di kota kembang


Dia ada penuh samar memiliki hidup penuh asa, dalam bulan sakral kita bertemu di persimpangan sudut kota, ia tersenyum lepas memutar bianglala penuh asa, ia meringakas semua kebaikan dalam kemanusiaan, pertolongan dalam hatinya menghidupkan nyawa dari hari.

Kala itu aku hadir dengan keringat kebutuhan,memakai satu pasang sedal capit lalu memandang bidadari yang tak pernah mengenali hirarki, aku hadir penuh kegelisahan, memandang ia yang penuh harapan, ia jelita dengan segelas yang ia yang di tawarkan, seakan hidup harus menghidupkan, asia afrika kini menjadi indah dalam dalam sejarah dan romantica, membuat rindu hadir di bulan yang sakral.

Namun ia hanya diam tanpa tanya, membisu menolak hadirnya purnama, cendolnya yang ia genggam kala itu hanya ku pandang dalam diksi yang tak berupa. Ia hanya lari tanpa senyum ataupun memberi resah pada tanda tanya, Memandangmu dalam rayya penuh hikmat selaksa rembulan tanpa cahaya, air  mengalir tanpa muara mengatarkan kerikil pada rasa yang tak bernyawa.

Raga bergetar ketika suara kemanusiaan di lantukan,seakan memberi harapan pada raga yang lupa digunakan, seperti ini kah rasa yang  tak berupa, memolah diksi menghilangkan jati diri pada karya sendiri, aku lupa, aku rasa dan dia hanya diam dalam diksi yang  tak berupa.

Menari – nari dalam kilat doa dini hari kurebut doa agar dapat tersiati, memeluk lukisan yang tak dapat ku gambarkan, seketika bianglala berputar  teringat kembali pada waktu kita bertatap tanpa ratap, dalam ransel yang kubawa banyak sekali coretan diksi, camera dan kanvas, dan itu senua  hanya memudar dengan karingat dan sedal capit yang  terhantam kisah cendol di kota parahyangan.

Aku malu pada rembulan mengapa dipertemukan dengan jelita dan aku tidak pantas berjalan pada kisah kasih yang kau pertunjukan, selaksa mentari membasahi jiwa, kini penaku tak menari kembali, hanya diam membisu menghayati karya tuhan yang memberikan harapan raga raga dan penuh  kegelapan.

Aku memang suka dengan cendolmu walaupun tak ada suara sekalipun. Asia afrika masih tetap menjadi sejarah bagi kembang dan cendol yang terbawa arus romantica parahyangan, kita tak akan menjadi  abu dan kita memang tak pernah menghadirkan kayu, kita tak akan  menjadi apa apa dan kita memang tidak pernah  menuliskan apa apa, tapi sungguh saat ini aku merindukan segelas cendol pemberiaanmu.

Memang benar kita tidak akan menjadi abu, kita tak pernah punya kayu untuk di rindukan, kita hanya ampas, seperti kopi ia hanya gelap  dan tak berupa, masih  ingat dengan selendang ijo yang kau pakai di taman kota, seperti itulah  cendol yang kau tawarkan pada poros damai memberikan sebuah bakti sosial pada jiwa-jiwa yang membutuhkan .

Di taman kota aku  duduk terpaku memandang cendol yang menghadirkan hakikatnya kota kembang, kau berseri, bahagia, walau  aku tidak  pernah tau apa yang sedang kau nikmati.

Bodohnya aku yang tidak merasakan nikmatnya cendol itu, bukannya tidak ingin kala itu seketika badanku bergemetar ketika suara lembut yang kau kumandangkan, aku malu, tak ada diksi ataupun syair yang pantas ku keluarkan pada waktu itu, aku hanya memilih diam, seperti apa yang kau lakukan pada rembulan, memilih diam untuk tidak memiliki suara yang berupa.

Entahlah, apa yang harus kulakukan, memiliki dialektika pada cendol yang tetap ku rindukan, memang sial cendol  ini menghadirkan rindu yang  mendalam, ingin  sekali ku mengulangi waktu dan berbicara bahwa cendolmu telah berhasil membuat diksi ini bernyawa dalam kisah kasih kota kembang.

Dan hari ini pada tanggal 28  juni aku pergi lagi ke tempat dimana cendol  itu menari,  riuhnya angin  kota membuat rindu  ini  terombang ambing dalam kamuflase  romantica, ia senyap,  ia  sepi dan ia hanya diam,  susahnya merakit diri untuk berdiri, memolah asa agar kita masuk kedalam rasa,  tapi semua tidak sesuai dengan apa yang aku harapkan, kau pergi tanpa pesan begitu pula kau hadir tanpa tanya aku sepi bersama cendol yang tak berupa hanya terhantam bayangan yang  tidak  akan pernah jadi nyata.

Memang benar, kita tidak pernah menanmkan apa-apa dan tidak akan  pernah menjadi apa-apa, aku rindu memandang cendolmu selaksa jagat penuh  warna, dimana riang menjadi sebuah alasan raga ini bermimpi dalam raya.

Bilamana memang diksi yang  tak pernah menjadi berupa, aku  akan kembali lagi seperti dulu dimana  sepi di temani dengan tembakau dan segelas kopi, bilamana cendol berhenti menari aku  akan kembali diam memandang rembulan mensiasati hati tanpa pena,  bilamana memang kau tidak merasakan apa-apa berarti aku hadir hanya seperti tanpa muara, kau bahagia begitu pula dengan asia afrika yang penuh romantica, jika kau ingin mencari, carilah aku dalam  sepi, dimana aku selalu memandang cendol yang penuh arti di bulan yang suci, terimakasih telah menghadirkan  diksi yang tak berupa ini.

Lalu apa yang harus kulakukan, sedangkan rindu selalu menghantam kanvas yang susah untuk ku lukiskan, dimna kanvas diam sendiri menepi dari rindu cendol yang selalu riang dan menari, aku muak jadi lelaki yang terbuang, aku muak jadi lelaki  yang tak mampu berkata cinta, kau diam penuh asa tapi aku rindu dengan rasa, apalagi yang harus kukatakan, aku bingung dengan pelangi tanpa warna, tapi kau hadir penuh tanya.
Suara yang berupa kau kirim pada poros yang fana, kau bilang ,“ jika memang cendol menjadi inspirasi bagi dirimu, lakukanlah dengan senang hati, dan  jangan pernah mendengarkan apa yang mereka katakan”, begitu mudahnya kau datang memberi harapan tanpa koma, kau membuatku bingung dalam realita, dimana cendol masih terbayang dalam camera yang selalu kubawa, jika memang rindu ini hanya akan menjadi rindang aku siap kembali menjadi jiwa yang dibuang, biarkan aku yang merasakan semuanya, biarkan  dirimu bertanya-tanya, karena rasa tidak pernah menangatakan tanya untuk di jawab,  biarkan semuanya pada muara parahyangan , kau berhak mengadili rindu yang tak bersifat  dua sisi, karena kita memang tidak pernah menanamkan apa apa dan tidak akan menjadi apa apa.

Jika memang aku hanya diam di  lorong   yang terbuang, aku  siap menerima diksi yang tak berupa  ini dengan nurani, terimakasih  telah  datang untuk pergi kembali dan  aku akan  tetap hadir jika cendol  itu menari lagi.

Semuanya datang lalu pergi lagi apakah memang jalannya seperti ini, apakah aku harus diam untuk memandang kisah yang belum menjadi kasih, biarkan tulisan ini abadi, biarkan semuanya menari, dan aku akan tetap menikmati cendol  yang menari.

Kau harus tau mengapa aku tulis cendol ini menjadi kisah  yang  tak berkasih, kau berhak bertanya tanpa  kecup dan ratap, memolah setiap kisah yang pernah terjadi di asia afrika, aku terbentuk dengan rindu  yang hanya jadi rindang, tanpa sedikit pun kata yang kau perlihatkan pada kota kembang, aku menyesali dimana jln .turangga akan menjadi  saksi pertemuan kita kembali tapi  aku  memilih diam untuk menyepi di  tugu api, aku malu  mengapa  rasa  ini hadir  pada cendol yang menari.

Malam ini kita betemu kembali dalam ruangan fana  membicarakan cendol yang tak pernah  menjadi  kasih, terlihat banyak yang mendengar begitu  pula ada yang  mengatakan  bahwa cendol ini  penuh  arti, namun mereka tidak  akan pernah mengerti tentang segelas cendol yang terjadi padaku  saat  ini, mungkin  saat ini ia tertawa di atas  tempatnya  tidur, melihat jiwaku yang rapuh oleh rindu  dalam  rindang, dan  mungkin jiwamu sedang  meresapi   lirih ini ditemani angin kota parahyangan yang membawa selaksa cinta penuh tanya, aku bahagia  dengan malam ini, dimana menikmati fana penuh  hikmat tanpa  koma,  biarkan  cendol ini  kita berdua saja yang  memahami, biarkan cendol ini  abadi, dan aku akan  tetap menikmati  cendol  itu  menari dalam paguyuban yang  ada di parahyangan
Tapi dalam hal ini  aku  ingin menjadi nyata bukan fana,  dan aku ingin hadir  penuh tawa bukan  diam  memandang  ruangan  fana  yang  penuh  tanda tanya,  hadirlah dalam  jiwaku  yang  pernah terbuang,  hadirlah pada mimpiku yang telah mati dalam kisah yang  dulu penuh  luka dan hadirlah dalam  diksi cendol yang akan membuat warna untuk kota  kembang tercinta.

Aku hanya ingin menjadi  nyata bukan diam lalu memandang dunia  fana  yang  tak  bersuara, salahkah aku merindukan kisah  walau  tak berkasih, salahkah aku mencintaimu tanpa tanya, salahkah aku menjadi lelaki gelap yang ingin bermimpi  menjadi pelita rayya untuk jelita segelas cendol penuh makna dan aku  ini menjadi nyata,cuman itu saja dan  tidak lebih.

Mungkin  saat  ini ia bertanya –tanya , lalu kapan kita akan menjadi nyata, kapan  kita akan menjadi insan yang menatap rembulan  pada kisah parahyangan, kapan kita akan menjadi cendol penuh   tawa dan bahagia bukan rindang dalam tanya, dan kapan kita akan menjadi malam penuh bintang melukis kalimat perjuangan untuk poros yang aku  impikan.

Tapi jika memang diam membuatmu   nyaman, silahkan  lakukan apa sedang kau  inginkan, kau berhak  menjadi  api pada kayu meruntuh diri  untuk menikmati bianglala yang penuh hirarki, dan  saat ini aku tidak  bisa berbuat apa-apa hanya bisa memandang dan berdoa agar asa menjadi rasa,lalu aku  hanya bisa diam memandang cendol kota kembang  dan sedang berusaha menjadikan kisah  ini jadi  nyata tanpa  tanya.

Jika memang tidak bisa, ijinkanlah  aku untuk menuliskan  kisah  ini tanpa  abu ,  menikmati  setiap syair yang penuh syahdu  walau  kita  jarang bertatap tanpa tatap, aku ingin kau  bahagia  tanpa  luka,lara dan derita.
Dan aku hanya seorang lelaki  pecundang yang tak  berani  mengatakan  rasa pada sang  rembulan, akku hanya bisa diam dan berharap kita bisa menjadi  nyata di  kota parahyangan,  mimpiku  terlalu  besar hingga mengkebiri harapan  yang ada di kepala, terlalu egois dengan diri  sendiri dan terlalu kerdil memikirkan rasa yang  belum pasti.

Tapi aku lebih memilih  seperti ini, dimana aku  sedang merangkai kata  dan ingin berjuang   untuk membuatmu percaya pada rembulan bahwa  aku adalah  manusia  jalang  yang  pernah terbuang dari kumpulannya.

Aku  memang penuh luka  tapi hari  ini aku ingin bahagia, dan kita memang fana tapi mimpi  dan asaku masih akan tetap ada dan berjuang untuk  membawa raga ini bertemu kembali dalam dunia  yang  nyata.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Surat untuk marsinar #2

Marsinar, perjalanku kini sudah terlalu jauh, aku melihat begitu banyak penderitaan di desa-desa, ada ibu imas yang setiap hari menanam ke...