Minggu, 03 November 2019

Rindu yang di pusarakan


Beranjaklah sang dewa dari penjaringan rahim yang suci, terasingkan antara waktu dan derita,  sore itu kelopak mata didekat pipimu,  bias mendekap rindu yang terpasung bayang bayang masa lalu,  bibirmu pucat seakan sedang berontak pada peradaban yang di paksa masuk ke masa siti nurbaya, hembusan asap jalanan menikam prahara walau rindu telah jadi pusara, sementara detak detak bola mata serupa udara dan pohon yang di tebas tuna asmara.
Ku puji asma dalam palung samudera, walau isi kepala menolak lupa pada jejak jejak hitam asmara
Serupa cinta penuh misteri
Serupa jelita yang berduri
Serupa akar membungkam gubuk cerita
Oh, selina
Hidup hanya serangkaian akar yang berduri,  di puji dan memuji membuat kita lupa untuk berdiri
Remuk nya aksara pada zaman pembodohan
Membuat kita gagal menghadirkan benih nya  perjuangan
Oh,  selina
Bayang - bayangmu mencekam sang malam
Nada nada minor menari dari hempasan yang sakral
Rangkum jalan berbeda,  jatuh sakit di sepertiga yang kelam
Aku bahagia melawan lupa
Oh,  selina
Beranjaklah pada ketiadaan yang abu
Rendahkan saja rupamu pada cakrawala
Jangan terlalu tinggi nanti kau jatuh kesakitan
Sejatinya cinta adalah kemanusiaan
Kita akan mati
Yang abadi hanya puisi

Aditya permana
Bandung, 19 september 2019.

Aku ingin bicara

Aku punya mimpi dan masihlah mimpi
Punya teka-teki cinta dari bebatuan yang menimbulkan api 
Meskipun selalu memaki bait demi bait dramaturgi
Aku punya kisah dan masihlah untuk terkasih
Punya riwayat kelam dari air mata matahari
Meskipun lembah kedamaian memagari rindu yang gugup
Aku punya cinta dan masihlah cinta untuk manusia
Punya jejak harmoni pada nada yang sunyi
Meskipun malam memukul jagat pelita kelopak matamu
Aku punya salah dan tetaplah bermasalah
Punya gelombang tenang walau bertepi dari bisingnya pembalut diksi
Meskipun kincir angin berada di menara yang tinggi
Aku punya berani dan tetaplah di kebiri
Punya asas dan cita pada masa muda
Meskipun ribuan sepi menghatam isi kepala
Aku punya mimpi untuknya
Berjalan bersama lalu menyapa segala sudut dunia
Walau harga kebutuhan dapur melambung tinggi
Aku punya cinta untuknya
Punya rumah kecil di pelosok desa
Di kelilingi kupu - kupu dan segala lembahnya
Agar bisa menepi dari bisingnya kota
Aku punya rindu untuknya
Menikmati segala panas dan dinginnya dunia
Ku pasang panel surya di dalam tubuhmu
Sebab harga listrik melambung tinggi karena jantung kita bukan dari bara nya batu

Aku punya dia
Dia punya mereka
Dan hari ini aku ingin bicara
Aku mencintaimu dengan merdeka. 

Aditya permana
Bandung, 2 november 2019

Sisi lain

Sampai kapan menghujat gelap dengan keraguan,  menghitam dengan seiringnya gelombang sungai menjadi api lalu kebodohan apa lagi yang tertanam pada kepala ini,  setiap hari,  setiap waktu dan setiap detik ku habiskan kopi dengan palung palung rusaknya dunia,  sedangkan ibuku di rumah merindukan meja makan yang dipenuhi santapan liar dari anaknya, aku jarang pulang hingga revolusi ini tak ada artinya,  membiarkan ibuku sendiri menatap langit tanpa hadirnya bias binar dari para jagoan. 

Aku malu pada benih tulang belulang revolusi
Palung demi palung terkontaminasi komoditas cakrawala
Terlalu jauh pola pikir ini berkelana 
Hingga jiwaku ambigu dengan rumah sendiri

Sisi demi sisi saling menghatam hidup yang di penuhi serangkaian konotasi yang lupa berdoa
Ibu,  aku pulang dengan serupa juang dan sedih
Demi tuhan aku mencintaimu dengan revolusi nadi bangsa ini

Ibu, malam ini aku duduk di sungai sendiri
Memandang kupu kupu yang tetap melawan asap pabrik
Kulihat bangunan yang megah berdiri di tanah para petani yang kehilangan cangkulnya
Serupa pulang dan sayur bayam
Aku rindu senyuman ibu di kala bapa membawa asa dan harap selepas kerja.

Ibu, aku ingin pulang memeluk badanmu agar kasih ini benar benar hidup di dalam raga hitam yang terdogma bias binar nya mentari

Aku benar benar rindu,  rumah itu
Aku benar benar cinta,  meja itu
Aku benar benar peduli,  kamar itu
Aku benar benar butuh ibu

Pada akhirnya,  kehidupan ini akan benar benar redup, aku kehilangan arah menerkam segala murka

Dunia ini kelam
Benar benar kelam
Ibu,  aku mencintaimu
Seperti bapa yang menamkan akar kasih pada tubuhku
Dan aku benar benar tumbuh menjadi lanang yang kuat dan berani

Serupa juang dan sedih aku masih mencintai rumah itu
Serupa kisah dan kasih aku masih butuh pelukan ibu

Serupa waktu dan tempat
Jangan katakan
Sudah tak ada lagi pulang bagiku. 

Aditya permana
Jakarta , 25 september 2019

Sabda cinta


Pada kota ini 
Aku pinjam matamu yang lucu
Kulihat bangunan tua yang tetap kokoh berdiri
Dan hari ini,  ada sebuah cahaya baru telah menyingsing dihadapanku,  aku memerlukan kekasihku, tapi yang hidup,  bukan sabda yang mati,  yang bisa kubawa ke dalam teropong kemanusiaan

Aku pinjam lagi hidungnya yang ayu
Ku cium aroma hirup pikuknya kota ini
Ku cium lebih dalam lagi paru-parunya yang suci
Namun dulu dia mencintai "engkau harus"  sebagai sesuatu yang paling suci,  tapi sekarang ia harus melihat adanya ketololan dan kekuasaan bahkan di dalam rahim yang paling suci

Dan aku pinjam lagi bibirnya yang merah merona
Ku kecup serak - serak peradaban secara pelan-pelan walau penuh pembungkaman pada jalan yang ditentukan
Ku cium lebih dalam lagi,  walau aku menginginkannya bukan sebagai sebuah hukuman dari seorang tuhan,  bukan sebagai hukum manusia ataupun sebagai kebutuhan manusia dan kita tidak akan menjadi tonggak penunjuk jalan menuju dunia-dunia atas dan firdaus-firdausnya
Lalu semua derita kita akan menjadi kebajikan dan semua setan kita pun akan menjadi malaikat-malaikatnya

Namun, jika aku berniat merebut parasmu yang jelita,  dengan cintaku,  aku katakan,  aku tak akan mampu melakukannya
Sebab cintaku tak sabar hendak meluap lagi menjadi aliran sabda ke segala arah,  yang mengalir ke atas dan ke bawah
Jiwaku akan bergegas keluar dari gunung-gunung yang sunyi dan penderitaan untuk sampai ke lembah-lembahnya
Dan terlalu lama aku merindu dan memandangmu dari kejauhan
Terlalu lama juga kesunyiaan ini mencekam tubuhku,  maka aku pun melupakan bagaimana membuka mataku

Sekali lagi aku katakan kepada kekasihku,  aku boleh turun, hidup bersama jantung-jantung kehidupan, tanpa adanya penderitaan, penindasan ataupun kelaparan.

Aku mencintaimu

Aditya permana
Bandung, 28 oktober 2019

Selamat pergi hari ini


Diujung jalan kulepaskan namamu pada titik perapian ini, kuhisap segala sepi pada lembah lembah mandalawangi, aku merasa asing bagi hutan dan sungai - sungainya, aku merasa gelap bagi kerikil dan tanah-tanahnya.

kurindukan namanu pada bintang - bintang di atas pegunungan, ku tatap wajahmu pada kanvas yang belum sempat ku lukiskan,  ku renungkan lagi kepergian ini pada ribaan hutan yang sunyi. 
Andaikan kita tak saling menghakimi ilalang - ilalang yang menari, mungkin tak akan ada jua kata selamat pergi hari ini. 

Andaikan kita tidak memvonis ketidakpastian sebagai tersangka dari segala kesepian,  mungkin akan kuceritakan segala kegaduhan ini pada ransel ransel yang bertepi di perkotaan.

Andaikan kita tidak mabuk pada kegelapan,  mungkin akan ada sejuta buku yang bernyanyi berjudul - judul, kata demi kata tak berkutik ataupun pikiran yang sedang mengintip ke segala sudut jendela yang ada di desa. 

Seperti irama yang mulai meraung pada kesedihan,  beranjaklah purnama bersenandung pada kesunyiaan rumah ini, jangkrik dan burung saling menutupi suaranya pada rembulan yang dilukis menjadi kenangan tempo dulu, di kala pohon dan angin mulai bercumbu dalam bingkai awan yang kelam.

Seperti yang patah dari jantung perkotaan,  mulailah berlayar meninggalkan semua perih dalam riuhnya penipu raga dan jiwa ini
Seperti bunga tulip yang di paksa telanjang pada ruangan patah, bernyanyilah kesedihan lalu mengatarkan kepergian roda waktu hingga membunuh masa kecil dulu

Seperti mengayun kayu dalam debar debar penuh luka, akan ku antarkan seribu bahasa ini pada bintang dan bulan lalu ku tusuk terangnya hingga redup,  benar benar redup pada putaran bianglala.

Seperti alunan nada yang hikmat di malam hari,  ku hisap semua dosa di depan lukisan wajahmu,  ku tatap lebih dalam lagi,  ku cium lebih mesra lalu aku tidur dalam bayang bayang yang semu. 

Seperti kata pulang pada jalan yang ber-iringan, aku muak dengan peradaban jengah ini,  aku muak dengan jelita yang di pusarakan perwira. 
Aku muak, dengan segala gelap dan terangnya. 
dengan segala puji dan asma nya
dengan segala bunga dan kupu-kupunya.

Lalu  kau menangis sendiri pada lara dan asa yang abadi, pada perapian yang kehilangan akar kehidupan, kita sama sama memvonis saling kehilangan arah tanpa tujuan,  kita terlalu muda untuk kepergian ini, dan kita terlalu tua untuk bermain pada kata kata yang tak akan pernah 
menjadi binasa.

Terbanglah untuk tak kembali
Aku katakan sekali lagi
Terbanglah untuk tak kembali
Karena Kita memang patut bertepi pada hari hari yang tidak pasti.


Aditya permana
1 november 2019





Surat untuk marsinar #2

Marsinar, perjalanku kini sudah terlalu jauh, aku melihat begitu banyak penderitaan di desa-desa, ada ibu imas yang setiap hari menanam ke...