Kamis, 15 Agustus 2019

Rindu yang menggugat #30

Terhimpit dalam lubang keramaian
mereka bersuara lantang merebut mahkota
dengan jiwa yang gila hormat
tertusuk dalam romansa kerakusan senja yang tak patut untuk dilontarkan

tarian - tarian kini tak layak untuk dipertunjukan
mereka menebas semua gerakan tubuh yang menyatakan perlawan
kukira suara toa verbal ini akan membangunkan kamerad yang tergeletak mati
dalam lukisan hyper realistis,
tidak usah merayakan kemenangan
jika saat perang kalian membunuh kawan sendiri,
ini bukan drama dimana sebuah adegan direkayasa.
Lucu ya melihat mereka yang bertopeng dua

Membanting satu sama lain untuk konsumsi egonya sendiri
membunuh karakter sudah jadi perihal yang melengkapi perutnya pribadi,
dari maya menjadi senjata,
dari realita mereka cupu untuk berbicara,
selamat datang di poros penuh sandiwara
yang dipenuhi oleh dongeng arti belaka

Teriakan agraria selalu di lontarkan
namun mereka hanya mengerti tentang lambang kebusukan
bukan sinopsis yang diajarkan,
Teriakan hak asasi manusia selalu di katakan
namun mereka hanya sibuk berperang dalam digital yang sudah tersaji dala meja makan
Teriakan toleransi selalu dipuja
Tapi mereka hanya mengerti melawan kawan bukan dirinya sendiri
dan banyak orang yang terlalu pintar menilai orang lain
tapi dia terlalu bodoh menilai diri sendiri

Lubang raya tak lagi menjadi senjata dalam kata,
namun penuh bualan yang tak punya makna
Selamat datang di pertempuran maya yang tak memanusiakan

Bung ijinkan kalimat ini membunuh sifat busukmu
Bung ijinkan kalimat ini merawat kebenaran dari kebusukan
Bung ijinkan kalimat ini merawat kesadaran dari kesakitan
Bung,  ini peluru tajam yang kami siapkan untuk perlawanan.... 
Kami masih ada dan berlipat ganda
Kami tidak akan pernah mati untuk bersuara


Bandung,  25 feb 2019
Aditya permana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Surat untuk marsinar #2

Marsinar, perjalanku kini sudah terlalu jauh, aku melihat begitu banyak penderitaan di desa-desa, ada ibu imas yang setiap hari menanam ke...