Minggu, 11 Agustus 2019

Rindu yang menggugat #29


Aku hidup dalam luka
kini semua damai ter-eksploitasi kehancuran yang membara

Kekasihku,  jika kita harus menjadi abu tanpa tulang belulang revolusi, maka biarkan puisi ini tetap hidup dan melawan

Biarkan semua derita kerongkongan ini terbang jauh hingga langit reformasi lalu mengabarkan pada menara bibel bahwa penindasan telah dikebiri surga dunia.  

Kekasihku,  aku akan mati, terbawa riuh-nya angin perlawanan tertusuk tangisan marjinal yang terangsingkan
Kubawa rindu menggugat ini untuk menghadang peluru serdadu
dengan kerangka dogma berlapis dasi yang ber-ejakulasi

Dengarlah kekasihku,  jeritan ini masih sama seperti air tanpa muara, dalam luka dan darah yang terlahir dari jeritan para petani, mereka kehilangan cangkul pada putaran malam yang tua
Lalu biarkan gugatan rindu ini menjadi kerangka sejati dalam poros kematiaan
Kekasihku, aku berdarah dari rindu dan sepi yang menggugat keadilan.

Dalam batu bara,  gunung,  dan sungai
Aku akan terlahir menjadi bumiputera bagi kecupan malam yang terhantam propaganda keheningan.

Dan aku akan musnah bersama blibiosida tanpa estetika,  bianglala kita hanya berputar pada stigma yang tergugat dari kecaman agraria.

Tenanglah kekasihku, aku tidak akan kemana- mana,  jika rindu bekerja pada kepergian
Maka kehilangan suara dan perlawanan satu hari saja
Barangkali itu adalah kematiaanku menjadi manusia yang terkasih. 

Aditya permana
Kantor antara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Surat untuk marsinar #2

Marsinar, perjalanku kini sudah terlalu jauh, aku melihat begitu banyak penderitaan di desa-desa, ada ibu imas yang setiap hari menanam ke...