Aku terlahir di hutan rimba.
Bernapas menghidupi pinus dalam keheningan.
Mana mungkin aku lari dari pemburuan rindu ini, senandung cinta tetap menari dalam gelap dan sunyi. Gejolak kasih yang mendidih, mencabik-cabik meja dalam pertemuan, kisah bias aliran darah di sekujur badanku, rintihan sukma memotong ranting, melipat rupa cantik demi tumbal asmara, menjadikan tuna didalam jejak-jejak yang dihanguskan.
Mana mungkin aku lari dari pemburuan rindu ini, senandung cinta tetap menari dalam gelap dan sunyi. Gejolak kasih yang mendidih, mencabik-cabik meja dalam pertemuan, kisah bias aliran darah di sekujur badanku, rintihan sukma memotong ranting, melipat rupa cantik demi tumbal asmara, menjadikan tuna didalam jejak-jejak yang dihanguskan.
Aku masuk ke dalam kamar yang penuh sejarah di mana sepi, gelap, dan sunyi tercipta dari lolongan anjing yang terhantam purnama dari kerinduan.
Kau pikir bibit-bibit ini tersesat di semak-semak yang sukat, aku katakan itu tidak, dan dengarkan ketika kepalaku mengajak masuk ke dalam lubang kritis. Aku nikmati uting merah meronamu ku hisap hingga belumuran darah tanpa turunnya air tuba. Maka, kubiarkan rambutmu tergerai di roda waktu, bercumbu di bayangan anjing - anjing yang kelaparan, mengais rindu hingga tertusuk ranting ayat-ayat kerinduan.
Kau pikir bibit-bibit ini tersesat di semak-semak yang sukat, aku katakan itu tidak, dan dengarkan ketika kepalaku mengajak masuk ke dalam lubang kritis. Aku nikmati uting merah meronamu ku hisap hingga belumuran darah tanpa turunnya air tuba. Maka, kubiarkan rambutmu tergerai di roda waktu, bercumbu di bayangan anjing - anjing yang kelaparan, mengais rindu hingga tertusuk ranting ayat-ayat kerinduan.
Dan kuteguk arak ini hingga aku mabuk dalam pelukanmu, menyelipkan gugatan bahwa kita memang terdakwa dari kebisingan rayya yang dimayakan, dengarkan sekali lagi musuh terbesarku adalah lautan, aku bisa mati dan tenggelam dalam gelombang asmara lalu terhanyut di lendir karangnya kehidupan.
Kukecup dadamu biar ku nikmati masa depan yang ada di uting merah muda itu, kukabarkan hingga rahimmu bahwa tak ada lelaki lain yang pantas menggigitmu selain diriku yang telah mabuk dalam gejolak asmara ini.
Hingga kumakan hidangan indahmu, memutar kenangan demi mengunyah rahasia, lalu berhadapan dengan bingkai kembang kamojang, bahwa perawanmu kini terkoyak-koyak sanak anjing yang melolongkan kerinduan.
Dengarkan lagi dalam malammu, aku tetap menggugat rindu ini hingga kukirimkan daun-daun kepada dewa, bahwa aku tidak akan pernah lari dari tumbal asmara yang kau hadirkan pada sungai, hutan, dan tanah.
Aku menggugat rindu, yang terkucur dalam segelas arak membuat mabuk pada rupamu yang jelita.
Aku menggugat rindu, dalam putingmu yang merah merona membuatku hilang jejak di dalam hutan rimba.
Aku menggugat rindu, dalam putingmu yang merah merona membuatku hilang jejak di dalam hutan rimba.
Aku menggugat rindu, dalam helaian rambutmu aku menikmati candunya cinta hingga benar-benar terlempar jauh kedalam jurang orde baru.
Ilmu hidup yang pertama kudapati adalah tentang menikmati aroma rindu di sekujur badanmu, memuja semi dan ironi, lalu menyimpan rapih doa-doa dewa kosmos dalam rintihan rindu yang menggugat ini maka, tak akan kubiarkan para lanang suci dan gelap itu bisa menikmati badanmu selain diriku.
Aditya permana
Kantor pikiran rakyat
27 juli 2019
Kantor pikiran rakyat
27 juli 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar