Minggu, 23 Juni 2019

Kembang tak berupa



Lepaskan bara dalam hati, murka dari ketikadilaan hingga cambukan depresi ini menggulung mimpi bahwa aku hanya lelaki malang tanpa adanya tarian kembang, berjalan kembali di hamparan pena tanpa warna, bergelut dengan kisah tanpa kasih membuat isi kepala jadi depresi, pelukan rimba yang berkecup dalam embun pagi menyirami jiwa lalu memilih sepi akan pembodohan sosial yang membuat diksi jadi depresi.

Gunung adalah ayah menguatkan rasa dalam asa
Lautan adalah ibu penuh kasih yang berkisah

Tapi aku hanya lelaki malang tanpa hadirnya sosok kembang, terbentur goretan pedang yang menantang kekuasaan, malam tanpa bintang memang manyakitkan begitu pula air tanpa muara yang membuat pola pikir kehilangan arah untuk pulang.

Sukma sinar jelita menutup rayya yang ingin bahagia,  menutup rapat diksi yang tak berupa bahwa aku tak pantas merasakan aroma kamojang dalam kesepian. 

Depresi bersama dialektika kembang yang penuh warna,  berselimut purnama tanpa cahaya,  kepala jadi depresi terbentur akan harmonisnya kembang yang tak berkisah

Putaran waktu hanya dijadikan detakan nadi untuk mencinta tanpa mencintai 
Buang lara penuh luka
Diam sejenak dalam goretan tinta yang berupa
Bahwa kembang memang tidak berupa dalam kasih

Biarlah api membara, membakar semua palsu dalam doa, biarkan aku sepi untuk bernada bahwa ukiran pena akan tetap mencintai kembang yang tak berupa.


Aditya permana
18 juni 2019





Kembang yang membara

Terlintas harapan tanpa sayap,  aroma tubuh jingga mepersuntik kenangan yang hanya jadi benalu, irama rindu kini jadi karang tersiati malam tanpa bintang, sunyi dalam cinta membuat mati dalam makna diksi yang tak berupa, kolase pembodohan diri sudah tertanam sejak dini dimana pelajaran dijadikan alat untuk pekerjaan bukan lagi berbicara tentang adidaya yang memanusiakan

Bumi, laut dan gunung kini tak lagi bercinta dalam kedamaian, semua hangus dijadikan perebutan korporat yang bersetubuh dengan kekuasaan

Mekarnya melati dalam pagi membuat pola pikir terbentur dengan kelaparan dan kebahagiaan,  bahwa lauk pauk saja tidak cukup untuk melawan pembodohan sosial

Lihatlah gedung parlemen, lihatlah istana negara,  lihatlah rumah-rumah dinas dimna korporat itu bersembunyi,  mereka bahagia diatas di derita,  mereka senang di atas lukanya cacing yang bertumpah darah di tanah nusantara

Pemuda diam dalam diksi senja, memvonis dirinya  yang sedang jatuh cinta ataupun luka oleh rasa, darah juang dikumandangankan tapi mereka mati berdiri, terlalu banyak berpacu dengan romantica tanpa sekali pun mengerti tentang melodi hikmat yang memanusiakan

tak ada lagi perjuangan untuk lidah rakyat semuanya mati dalam tarian purnama bahwa mereka hidup memang untuk saling berbagi bukan menghilangkan denyut nadi dalam nuraninya sendiri

Semua hilang dalam modernisasi dimana orang pintar bisu dalam hal sosial dan kemanusiaan 
Semua hilang dalam bianglala penuh nahkoda
Tapi senyap ketika jeritan anak yang ingin merasakan bangku pendidikan
Semua hilang dalam adidaya dimana orang orang lebih bangga menghafal ajaran luar di bandingkan menghidupkan asihnya nene moyang

Bukalah mata,  bukalah hati, bahwa jeritan marjinal masih terdengar hingga pelosok desa
Jabat tangan bersama dalam perjuangan mari lawan serdadu yang tetap berkuasa

Melawan tanpa jeda atau diam penuh tanya
Bersuara untuk mereka atau berlari demi kekayaan pribadi
Melawan bukan ingin terlihat menang melainkan mengkibarkan kembali bendera yang penuh keadilaan. 

Hidup untuk menghidupkan terbayang di atas kepala bahwa penindasan memang harus dilawan dalam garis kebersamaan. 

Aditya permana
Bandung 24 juni 2019


Kamis, 13 Juni 2019

Kembang yang terlepas



Kita pernah menjadi sepasang insan yang menatap cakrawala penuh tanya tanpa sebab, menanti uraian kisah penuh kasih, kau sering tertawa di sudut bianglala membuang setiap keluh dalam pijakan yang membawa pikiranku pada lukisan permata tanpa lara, begitu lincah ketika tanganku menari dalam kanvas menceritakan bahwa tawamu berhasil membuat lukisan ini penuh warna, kau bahagia dengan harmonica yang kumainkan walau penuh kesumbangan, dan kini kita telah menjadi abu, terbakar semuanya walau tanpa kayu, kau yang memulai dan kau juga yang membakar,  aku terdiam di sudut kota membayangkan setiap semu yang penuh abu, kau pergi tanpa pijakan meninggalkan setiap darah tanpa arah, aku diam dalam kesepian mencari arah untuk pulang, kau pergi dengan kenangan dan aku diam dalam seribu kesakitan.

Permataku sudah hilang tak ada lagi sosok yang akan ku lukisan, hantaman ini begitu cepat melukai hingga kau lupa untuk mengobati agar kanvas ini berdiri kembali , aku depresi dengan diri sendiri hingga lupa dengan dunia ini, kukira kau akan datang kembali bersama kata kata yang telah menjadii abu menompah setiap kisah menjatuhkan setiap luka yang penuh tanya.  

Aku menunggu di lubang kesunyiaan tergelatak sendiri membayangkan kembali setiap kata yang penuh kala, kau yang memulai setiap jeritan luka, kembalilah jangan biarkan kisah ini terompang amping dalam hayalan, jangan mengkubur jika ragaku belum hancur, aku masih ada menunggu walau penuh ragu.

Sungguh demi menjadikanmu rumah saat itu aku buang setiap diksi yang tak bermakna, kau harus tau, kau adalah alasan pertama kanvas ini menari dalam bianglala yang penuh warna, namun ada suaru sendu menghampiriku rupanya ini tentang hari pernikahanmu, kau pergi tanpa tanya hingga kau hadir membuat dunia ini tak berwarna.

Kuberanikan diri tanpa harus berlari ku buang setiap rasa yang pernah kumiliki agar kau mengerti bahwa aku masih menunggu tanpa adanya orang yang peduli, senyumanmu menusuk duniaku merobek lukisan yang pernah ku bingkai dalam lingkaran kembang.
Untukmu kembang yang terlepas aku masih berdiri walau terhempas





Selasa, 11 Juni 2019

Ranting kembang terbius aroma kebohongan


  Seringnya  kau campakan rindu ini hingga masuk kedalam lara yang penuh luka, kau membiarkan darahku dingin , benar - benar dingin hingga lupa bagaimana hangat kembali, sepucuk surat kau kirimkan dara kedalam kamarku, penuh amarah dalam sepi, rindu ini hanya jadi senjata perang bagimu menebas semua sepi agar aku terluka kembali, aku hanya menghadirkan rindu dalam sepi bukan menyandera dirimu agar mati tak mewangi, aku hanya membayangkan rindu ini berkelana dalam majas melati bukan diam membisu membabi buta semuanya yg ku ingini, jika kau ingin pergi dalam kebencian silahkan caci semua sepi yang pernah kumiliki, silahkan pergi setelah benar benar ku mati dalam sepiku sendiri.

  Dalam lembayung hujan di sudut kota ada pesan sakral yang pernah kita bicarakan, kepastiaan kita hanya jadi siklus bianglala tanpa nahkoda, meresapi setiap keluh yang terjadi dan akhirnya menghadirkan ambisi untuk esok hari, kau begitu pintar menari dalam kata hingga aku terbuai dalam intisari aksara, melepasmu adalah tiada, kembali ke lubang yang sama penuh luka dalam uraian diksi yang tak punya makna, begitu mudahnya kau berkata tanpa makna memberi sarapan sampah agar aku diam dalam gelombang yang tak berwarna.

  Kau hilang dalam rindu yg sedang ku rangkai, merangkai setiap luka yang pernah terurai, kau hilang dalam ramai hingga lupa dengan sepi yang telah terbingkai, begitu mudahnya kau menghapus setiap jejak yang ada di sudut kota kembang, menabur benci hingga kau lari dalam derita tanpa luka, kau fana bagi waktu merasa sengsara di atas derita.

   Pergilah dengan sebutir janji kebohongan yang pernah kau lukiskan dalam pusara kebahagiaan, sekarang, kau hanya sedang mabuk pada kekayaan yang sudah terurai, membuang sampah agar berlian tergenggam hingga malam, kini aku bahagia dalam gundukan sampah yang telah kau buang,  merakit kembali setiap benang agar suara langit menggema di kepalamu bahwa aku telah bangkit kembali, membawa kisah yang kau anggap hina, mengatarkan setiap doa hingga ujung pusaka.

  Silahkan ramai dengan kisah kebohongan, silahkan berjalan dalam tahta yang telah tersaji dalam meja makan, kau hanya hina dalam kebenaran hingga lupa bahwa aku akan menghadirkan lukisan kembang yang penuh luka.





Surat untuk marsinar #2

Marsinar, perjalanku kini sudah terlalu jauh, aku melihat begitu banyak penderitaan di desa-desa, ada ibu imas yang setiap hari menanam ke...