Minggu, 19 Mei 2019

Biarkan aku tertidur sejenak



Amati resah dalam sunyi , menyukat ego yang dihakimi sepi, raga terhantam bianglala yang karang memolah rasa lupa untuk di kenang,  sejenak aku hilang terhantam intuisi yang dangkal, merangkai rasa hanya jadi asa lalu penuh uraian luka, darah dan pedih menemani malam dalam sepi membuat isi kepala jadi depresi,  aku muak jadi jiwa yang sering terbuang, merintih dan terhimpit membuat mimpi ini punah,  poros sepi membuat kaki ini susah untuk melangkah terbuai dengan singgasana yang hanya jadi bingkai kenangan.

Hidup untuk menghidupkan kini tetap di perjuangankan walau raga penuh darah dan goretan luka, membisu sejenak dalam sepi melawan depresi dengan segelas kopi agar jiwa ini bangkit kembali dalam mimpi yang telah di kebiri, suntikan aroma kamojang membuat sikis ini berdiri dari pembodohan sosial,  aliran darah mengalir sangat kencang ketika kisah kasih kemanusiaan dikumandangkan oleh  dramaturgi yang menolak kemiskinan dan pembodohan.
Alunan nada kelaparan membuat jiwa ini menangisi dramaturgi yang tidak bisa berbuat apa apa,  diam dan sembunyi di balik egosentris  yang menghakimi diri sendiri,  aku depresi dengan raga ini terbakar bianglala yang telah di suntik mati.

bising nya ambisi menggulung deru perjuangan mengikat nurani agar masuk kelubang yang dangkal, bungkam malam tanpa bintang melepas tinta kehamonisan membanting jiwa yang semakin kalut, aku terbuai oleh irama yang ambisius lalu terpenjara  dengan dogma yang sakit, transisi luka berjumpa dengan darah mengalir redup menutupi air mata tanpa estetika.

Aku sepi dalam perjuangan, semuanya pergi dengan pembalut eksistensi
Aku mati dalam mimpi, semuanya dikebiri  dengan ambisi yang membodohkan diri sendiri
Aku hancur tanpa melati, semuanya datang lalu pergi kembali
Aku gelap dan berdarah, semuanya menusuk dengan egosentris tanpa nurani

Cinta hanya jadi penompang kisah tanpa kasih, merangkai luka dengan diksi membuat jiwa ini lupa untuk berdiri, aku kehilangan arah untuk berjalan, semuanya semu hingga abu abu menyadap aroma melati ini, ingin sekali ku hilang sejenak mengobati luka dengan lorong yang gelap, ingin sekali ku mati dalam harmoni menutupi darah yang susah untuk di obati.

Biarkan aku tertidur sejenak, merasakan sepi dan hening untuk bisa bangkit kembali dalam dunia yang penuh pembodohan ini

Bandung, 20 mei 2019

Aditya Permana     



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Surat untuk marsinar #2

Marsinar, perjalanku kini sudah terlalu jauh, aku melihat begitu banyak penderitaan di desa-desa, ada ibu imas yang setiap hari menanam ke...