Amati resah dalam sunyi , menyukat ego yang dihakimi sepi,
raga terhantam bianglala yang karang memolah rasa lupa untuk di kenang, sejenak aku hilang terhantam intuisi yang
dangkal, merangkai rasa hanya jadi asa lalu penuh uraian luka, darah dan pedih
menemani malam dalam sepi membuat isi kepala jadi depresi, aku muak jadi jiwa yang sering terbuang,
merintih dan terhimpit membuat mimpi ini punah,
poros sepi membuat kaki ini susah untuk melangkah terbuai dengan
singgasana yang hanya jadi bingkai kenangan.
Hidup untuk menghidupkan kini tetap di perjuangankan walau
raga penuh darah dan goretan luka, membisu sejenak dalam sepi melawan depresi
dengan segelas kopi agar jiwa ini bangkit kembali dalam mimpi yang telah di
kebiri, suntikan aroma kamojang membuat sikis ini berdiri dari pembodohan
sosial, aliran darah mengalir sangat
kencang ketika kisah kasih kemanusiaan dikumandangkan oleh dramaturgi yang menolak kemiskinan dan
pembodohan.
Alunan nada kelaparan membuat jiwa ini menangisi dramaturgi
yang tidak bisa berbuat apa apa, diam
dan sembunyi di balik egosentris yang
menghakimi diri sendiri, aku depresi
dengan raga ini terbakar bianglala yang telah di suntik mati.
bising nya ambisi menggulung deru perjuangan mengikat nurani
agar masuk kelubang yang dangkal, bungkam malam tanpa bintang melepas tinta
kehamonisan membanting jiwa yang semakin kalut, aku terbuai oleh irama yang ambisius
lalu terpenjara dengan dogma yang sakit,
transisi luka berjumpa dengan darah mengalir redup menutupi air mata tanpa
estetika.
Aku sepi dalam perjuangan, semuanya pergi dengan pembalut
eksistensi
Aku mati dalam mimpi, semuanya dikebiri dengan ambisi yang membodohkan diri sendiri
Aku hancur tanpa melati, semuanya datang lalu pergi kembali
Aku gelap dan berdarah, semuanya menusuk dengan egosentris
tanpa nurani
Cinta hanya jadi penompang kisah tanpa kasih, merangkai luka
dengan diksi membuat jiwa ini lupa untuk berdiri, aku kehilangan arah untuk
berjalan, semuanya semu hingga abu abu menyadap aroma melati ini, ingin sekali ku
hilang sejenak mengobati luka dengan lorong yang gelap, ingin sekali ku mati dalam
harmoni menutupi darah yang susah untuk di obati.
Biarkan aku tertidur sejenak, merasakan sepi dan hening
untuk bisa bangkit kembali dalam dunia yang penuh pembodohan ini
Bandung, 20 mei 2019
Aditya Permana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar