Senin, 13 Mei 2019

Diksi yang tak berupa

Pelukan rimba hanya jadi pinus, tertusuk dunia kalut melontarkan kata yang hanya jadi pembalut, aku pergi membuang setiap keluh melawan dogma agar tetap menari dalam intisari aksara, merana hanya jadi kirana menemani malam tanpa terang, gumpalan ego hanya jadi sampah merusak jiwa agar di tertawakan dunia, aku hanya pecundang, bersembunyi untuk tenang namun ribuan karang menghampiri, aku lemah dalam problemtika kekalahan, merintih penuh luka hingga ufuk dunia terdiam tanpa kata Semua hilang terhantam kisah tanpa kasih, mereka datang hanya untuk pergi kembali, berdarah dalam mertaforsa merangkai diksi penuh keluh kesah hingga ancaman sepi membuat isi kepala jadi depresi, aku pedih dengan dunia yang kalut, menyepi dalam kegelapan membiarkan imajinasi membunuh angan angan ini, aku luka dengan ramai semuanya bisu lalu mentertawakan luka ini.

Orang orang yang kuncintai semuanya diam tanpa kata, mereka merenung tanpa mengerti walau ku tau ujungnya aku pasti mati dalam sepi, apakah aku ditakdirkan hanya untuk berteman dengan sunyi menompah raga yang kehilangan jati diri membunuh mimpi demi keluar dari sepi, aku luka dan 
berdarah.

Setiap kaki memapah mengapa telinga dunia jadi fana, setiap kali tangan mengikat mengapa rasa membakar memori yang ku anggap bisa, mengapa bahagia hilang dalam asa, semuanya rapuh dalam fakta menghancurkan cinta yang tak berupa, aku jatuh terjungkat dengan hidup yang kelam semuanya pergi tanpa pamrih, mentertawakan ragaku yang dihantam sunyi dan hening.

Mulutku bergumul lalu mengajak percikan jeritan ini untuk berdisuksi dengan poros sepi yang menghadirkan air mata, tamparan kecewa membuat derita ini tenggelam dalam dunia yang penuh tanda tanya mengisak kata terjatuh dalam uraian komposisi yang susah di hidupi, aku menyerah dengan sepi ingin sekali ku tusuk jiwa ini agar bangkit dari depresi.

Hidup untuk menghidupkan selalu ku sajikan dalam meja makan yang sepi, melontarkan luka yang i
ingin bicara bahwa cinta, derita dan keluarga kini tenggelam dalam lautan yang tak berwarna, semuanya hilang tercampur kamuflase yang sakit membuncah jeritan hati yang patah, Ibu dan ayah tak bisa menggapaiku semuanya diam dan aku pun tidak bisa mengenali diriku sendiri,  aku hancur menjadikan hatiku tak berupa.

Hidupku kehilangan irama memolah pagi dan malam yang tak punya cinta.



Bandung. 14 mei 2019

Aditya permana


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Surat untuk marsinar #2

Marsinar, perjalanku kini sudah terlalu jauh, aku melihat begitu banyak penderitaan di desa-desa, ada ibu imas yang setiap hari menanam ke...