Pelukan rimba hanya jadi pinus, tertusuk dunia kalut
melontarkan kata yang hanya jadi pembalut, aku pergi membuang setiap keluh
melawan dogma agar tetap menari dalam intisari aksara, merana hanya jadi kirana
menemani malam tanpa terang, gumpalan ego hanya jadi sampah merusak jiwa agar
di tertawakan dunia, aku hanya pecundang, bersembunyi untuk tenang namun ribuan
karang menghampiri, aku lemah dalam problemtika kekalahan, merintih penuh luka
hingga ufuk dunia terdiam tanpa kata Semua hilang terhantam kisah tanpa kasih,
mereka datang hanya untuk pergi kembali, berdarah dalam mertaforsa merangkai
diksi penuh keluh kesah hingga ancaman sepi membuat isi kepala jadi depresi,
aku pedih dengan dunia yang kalut, menyepi dalam kegelapan membiarkan imajinasi
membunuh angan angan ini, aku luka dengan ramai semuanya bisu lalu
mentertawakan luka ini.
Orang orang yang kuncintai semuanya diam tanpa kata, mereka
merenung tanpa mengerti walau ku tau ujungnya aku pasti mati dalam sepi, apakah
aku ditakdirkan hanya untuk berteman dengan sunyi menompah raga yang kehilangan
jati diri membunuh mimpi demi keluar dari sepi, aku luka dan
berdarah.
Setiap kaki memapah mengapa telinga dunia jadi fana, setiap
kali tangan mengikat mengapa rasa membakar memori yang ku anggap bisa, mengapa
bahagia hilang dalam asa, semuanya rapuh dalam fakta menghancurkan cinta yang
tak berupa, aku jatuh terjungkat dengan hidup yang kelam semuanya pergi tanpa
pamrih, mentertawakan ragaku yang dihantam sunyi dan hening.
Mulutku bergumul lalu mengajak percikan jeritan ini untuk
berdisuksi dengan poros sepi yang menghadirkan air mata, tamparan kecewa
membuat derita ini tenggelam dalam dunia yang penuh tanda tanya mengisak kata terjatuh
dalam uraian komposisi yang susah di hidupi, aku menyerah dengan sepi ingin
sekali ku tusuk jiwa ini agar bangkit dari depresi.
Hidup untuk menghidupkan selalu ku sajikan dalam meja makan
yang sepi, melontarkan luka yang i
ingin bicara bahwa cinta, derita dan keluarga
kini tenggelam dalam lautan yang tak berwarna, semuanya hilang tercampur
kamuflase yang sakit membuncah jeritan hati yang patah, Ibu dan ayah tak bisa
menggapaiku semuanya diam dan aku pun tidak bisa mengenali diriku sendiri, aku hancur menjadikan hatiku tak berupa.
Hidupku kehilangan irama memolah pagi dan malam yang tak
punya cinta.
Bandung. 14 mei 2019
Aditya permana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar