Kamis, 23 Mei 2019

Kembang yang penuh luka



   Gemuruh angin malam mengantar rindu ini hingga tiga pagi mencampakan coretan diksi pada secangkir kopi, aku yang memulai rindu kau hanya diam membisu, tanpa kata kau membuang semua mimpi yang ku punya, aku diam tak berdaya memandang asa yang tak pernah jadi rasa, memeluk sepi hingga dini hari membuat jiwa ini depresi terpukul dengan cinta yang tak dapat kumiliki, aku lelah menjadi jiwa yang terbuang dari dunia ini, di tertawakan ramai hingga dikebiri malam, kau datang hanya untuk pergi bukan berjalan agar dapat kumiliki, kau semu, kau hanya bayang bayang, Kuringkas cinta yang tak pernah tercipta, memutar bianglala kembali ke dalam lubang yang sunyi, merasakan raga terhantam ego sendiri, merintih mengganga di lorong gelap menyembunyikan luka yang tak dapat di obati, aku tetrindas dengan ramai ditertawakan bulan hingga sampai bintang.
     
   Aku lebih memilih sepi menuliskan perihal puisi dengan bait yang sunyi agar jiwa ini bisa terobati dengan diksi yang punya arti, aku akan tetap sepi hingga semua nya benar - benar pulih kembali, maaf jika saat ini aku lebih senang menyendiri, memaksa raga masuk kedalam lubang yang sunyi 
menghayati mimpi agar bisa terbukti.
     
   Untukmu kembang yang penuh luka tertawalah hingga benar benar kau masuk kedalam dunia yang fana,  menyembuyikan rasa yang ditutupi  ego sendiri , percayalah suatu saat nanti kau akan merasakan sepi, sunyi dan terbuang hingga di campakan bulan dan bintang.

Kau berhak bahagia walau jiwaku penuh luka
     
   Kenalkanlah jiwamu hingga ujung dunia biarkan aku disini yang berdiri sendiri hingga semua orang tak pernah mengenali, biarkan aku luka sendiri merasakan sepi dengan cacian yang membuat jiwa ini akan bangkit kembali.
    
   Rindu ini membuatku depresi terpental jauh menghilangkan semua mimpi, aku hanya bisa terdiam mengahayati malam di lubang yang sunyi memandang kembang yang penuh luka ini, kukira kembang ini mekar dan mewangi nyantanya ia hanya datang untuk pergi kembali.


Minggu, 19 Mei 2019

Biarkan aku tertidur sejenak



Amati resah dalam sunyi , menyukat ego yang dihakimi sepi, raga terhantam bianglala yang karang memolah rasa lupa untuk di kenang,  sejenak aku hilang terhantam intuisi yang dangkal, merangkai rasa hanya jadi asa lalu penuh uraian luka, darah dan pedih menemani malam dalam sepi membuat isi kepala jadi depresi,  aku muak jadi jiwa yang sering terbuang, merintih dan terhimpit membuat mimpi ini punah,  poros sepi membuat kaki ini susah untuk melangkah terbuai dengan singgasana yang hanya jadi bingkai kenangan.

Hidup untuk menghidupkan kini tetap di perjuangankan walau raga penuh darah dan goretan luka, membisu sejenak dalam sepi melawan depresi dengan segelas kopi agar jiwa ini bangkit kembali dalam mimpi yang telah di kebiri, suntikan aroma kamojang membuat sikis ini berdiri dari pembodohan sosial,  aliran darah mengalir sangat kencang ketika kisah kasih kemanusiaan dikumandangkan oleh  dramaturgi yang menolak kemiskinan dan pembodohan.
Alunan nada kelaparan membuat jiwa ini menangisi dramaturgi yang tidak bisa berbuat apa apa,  diam dan sembunyi di balik egosentris  yang menghakimi diri sendiri,  aku depresi dengan raga ini terbakar bianglala yang telah di suntik mati.

bising nya ambisi menggulung deru perjuangan mengikat nurani agar masuk kelubang yang dangkal, bungkam malam tanpa bintang melepas tinta kehamonisan membanting jiwa yang semakin kalut, aku terbuai oleh irama yang ambisius lalu terpenjara  dengan dogma yang sakit, transisi luka berjumpa dengan darah mengalir redup menutupi air mata tanpa estetika.

Aku sepi dalam perjuangan, semuanya pergi dengan pembalut eksistensi
Aku mati dalam mimpi, semuanya dikebiri  dengan ambisi yang membodohkan diri sendiri
Aku hancur tanpa melati, semuanya datang lalu pergi kembali
Aku gelap dan berdarah, semuanya menusuk dengan egosentris tanpa nurani

Cinta hanya jadi penompang kisah tanpa kasih, merangkai luka dengan diksi membuat jiwa ini lupa untuk berdiri, aku kehilangan arah untuk berjalan, semuanya semu hingga abu abu menyadap aroma melati ini, ingin sekali ku hilang sejenak mengobati luka dengan lorong yang gelap, ingin sekali ku mati dalam harmoni menutupi darah yang susah untuk di obati.

Biarkan aku tertidur sejenak, merasakan sepi dan hening untuk bisa bangkit kembali dalam dunia yang penuh pembodohan ini

Bandung, 20 mei 2019

Aditya Permana     



Senin, 13 Mei 2019

Diksi yang tak berupa

Pelukan rimba hanya jadi pinus, tertusuk dunia kalut melontarkan kata yang hanya jadi pembalut, aku pergi membuang setiap keluh melawan dogma agar tetap menari dalam intisari aksara, merana hanya jadi kirana menemani malam tanpa terang, gumpalan ego hanya jadi sampah merusak jiwa agar di tertawakan dunia, aku hanya pecundang, bersembunyi untuk tenang namun ribuan karang menghampiri, aku lemah dalam problemtika kekalahan, merintih penuh luka hingga ufuk dunia terdiam tanpa kata Semua hilang terhantam kisah tanpa kasih, mereka datang hanya untuk pergi kembali, berdarah dalam mertaforsa merangkai diksi penuh keluh kesah hingga ancaman sepi membuat isi kepala jadi depresi, aku pedih dengan dunia yang kalut, menyepi dalam kegelapan membiarkan imajinasi membunuh angan angan ini, aku luka dengan ramai semuanya bisu lalu mentertawakan luka ini.

Orang orang yang kuncintai semuanya diam tanpa kata, mereka merenung tanpa mengerti walau ku tau ujungnya aku pasti mati dalam sepi, apakah aku ditakdirkan hanya untuk berteman dengan sunyi menompah raga yang kehilangan jati diri membunuh mimpi demi keluar dari sepi, aku luka dan 
berdarah.

Setiap kaki memapah mengapa telinga dunia jadi fana, setiap kali tangan mengikat mengapa rasa membakar memori yang ku anggap bisa, mengapa bahagia hilang dalam asa, semuanya rapuh dalam fakta menghancurkan cinta yang tak berupa, aku jatuh terjungkat dengan hidup yang kelam semuanya pergi tanpa pamrih, mentertawakan ragaku yang dihantam sunyi dan hening.

Mulutku bergumul lalu mengajak percikan jeritan ini untuk berdisuksi dengan poros sepi yang menghadirkan air mata, tamparan kecewa membuat derita ini tenggelam dalam dunia yang penuh tanda tanya mengisak kata terjatuh dalam uraian komposisi yang susah di hidupi, aku menyerah dengan sepi ingin sekali ku tusuk jiwa ini agar bangkit dari depresi.

Hidup untuk menghidupkan selalu ku sajikan dalam meja makan yang sepi, melontarkan luka yang i
ingin bicara bahwa cinta, derita dan keluarga kini tenggelam dalam lautan yang tak berwarna, semuanya hilang tercampur kamuflase yang sakit membuncah jeritan hati yang patah, Ibu dan ayah tak bisa menggapaiku semuanya diam dan aku pun tidak bisa mengenali diriku sendiri,  aku hancur menjadikan hatiku tak berupa.

Hidupku kehilangan irama memolah pagi dan malam yang tak punya cinta.



Bandung. 14 mei 2019

Aditya permana


Sabtu, 11 Mei 2019

Seribu senyuman dari nusantara


Bilamana aku hidup seribu tahun lagi aku ingin menyusuri nusantara melihat pohon oak tumbuh dengan indahnya lukisan sang pencipta
Aku ingin melihat ijen yang katanya indah bagi jiwa romansa
Aku ingin pergi ke tambora dimana ada kisah yang mengemparkan dunia
Aku ingin pergi flores
Dimna ada kisah putri yang sangat cantik
Ase kae aku ingin kesana
Aku ingin pergi ke padang
Dimana ada kisah kuburan malaka yang sudah di temukan
Aku ingin pergi kesemeru
Dimana ada kisah gie yang mati disana
Aku ingin pergi pantai selatan
Dimana ada kisah wanita cantik yang melegenda
Aku ingin pergi ke papua
Dimana sumber daya alam yang begitu kaya
Aku ingin kepotianak
Dimana ada dayak yang melegenda
Aku ingin pergi keaceh
Dimana orang bilang itu serambinya mekkah ya ada di indonesia
Dan ada kisah dari paris van java
Dimna bandung dilahirkan ketika tuhan sedang tersenyum

Indonesia oh indonesia
Terimkasih karena indahmu dan budaya ini
Kami bisa hidup dalam bhineka tunggal ika.

Bandung, 6 maret 2018

Aditya permana





Jumat, 03 Mei 2019

Literasi di kebiri materi terbungkus eksistensi

Meneguk air putih tercampur bisikan agraria bahwa ragaku ter-usir dari lingkaran lestari alam ini, semuanya terdogma dengan budaya yang sakit merakit raga hanya untuk kebutuhan pribadi dan membunuh satu sama lain, merawat bumi hanya sekadar guyonan belaka,  tanah – tanah hilang di ganti dengan gedung kerakusan, bukit bukit menciut terbius problematika tanah yang telah dicuri, semuanya hilang dirampas korporat dan membunuh marjinal lalu berselimut di bantal kekuasaan.

Otak ini terlalu dangkal ketika aroma kopi mengajak berpacu dalam garis perjuangan, mulut ini bisu terpental jauh ke laut natuna bahwa ikan kita sudah banyak dicuri,  tangan ini keram ketika  suara demokrasi hanya dijadikan alat untuk perebutan saham batu bara yang ada di Kalimantan dan kaki ini lumpuh ketika semuanya berdalih bahwa partai lebih penting dari kemajuan bangsa.

Sampai kapan aku tertindas dalam kebodohan yang sangat panjang, pendidikan hanya dijadikan alat untuk mendapatkan gelar, bukan lagi belajar tentang bagaimana mencari hakikatnya memanusiakan manusia, keamaan hanya untuk yang ber-uang saja, orang orang miskin mereka mati kesepian, kalimat literasi kini dikebiri materi lalu paradigma kiri bercumbu dengan eksistensi.

lorong lorong gelap menampar isi otak yang terlalu kosong, mencium melati di suntik mati ego sendiri,  yudikatif hanya kumpulan orang – orang sakit, jin dan setan mentertawakan eksekutif yang gila kursi dan terbungkus materi, fasis yang baik adalah fasis yang mati.

Urgensi jiwa termenung dengan rangkaian diksi dewa kosmos membungkus rapih pantulan tinta manusia yang dilenyapkan dalam memperjuangkan kehidupan, semua berdalih demi perut pribadi orang pinggir hanya jadi audiensi bertepuk tangan karena telah dibodohi.

Belajar logika sudah sejauh mana, demonstrasi dihakimi, korupsi di lindungi, jiwa jiwa yang dangkal dikebiri materi, mampus jiwaku dikoyak koyak sepi, menatap atap yang hanya jadi ratap, merasa sengsara di atas pusara, Ku ringkas ketakutan menyembuhkan sepi dalam perjuangan,  memandang gedung yang di penuhi lukisan kesombongan, aku mati berdiiri memandang jiwa jiwa yang bersetubuh dengan eksistensi tanpa nurani dan essensi.

Aku pulang menundukan kepala,  terhantam gelisah dalam jiwa bahwa bayangan hidup untuk menghidupkan harus tetap di perjuangkan.


Bandung, 3 mei 2019
Aditya perma





Rabu, 01 Mei 2019

Semiotika dramaturgi


Pada akhirnya kesepian jadi teman sejati, membanting raga yang sedang bermimpi untuk bangkit kembali, menusuk intuisi membuat nadi mati untuk asa yang hilang dalam rasa, aku lupa untuk mensyukuri, dimana sepi  membuat kaki ini lupa untuk berdiri, aku lupa untuk bahagia dimana sunyi menghantam bianglala yang lara, melirik bingkai kenangan merobek ufuk dialektika yang di bayang bayang dinamika semiotika dramaturgi, aku patah bagai ranting yang tergeletak di tanah, aku hancur bagai raga yang terhantam hipotermia  kesepian, aku mati dalam ramai.

Menari dalam kanvas bercumbu dengan tinta kehidupan, menghapus luka dengan aroma kopi Arabica,  gosongnya jiwaku ini hanya untuk melawan dunia yang kalut, merajut diksi yang  hanya bukan sekedar pembalut puisi cinta, terlalu banyak manusia yang mengatakan asa tanpa rasa tapi aku tidak ingin masuk kedalam lubang, lara dan luka yang sama.

Aku terbuang dari kumpulan orang orang yang haus kemenangan,  terlempar kedalam poros yang gelap mentertawakan semiotika dramaturgi  yang sedang berdalih untuk eksistensinya sendiri, aku lelaki jalang yang melawan pembodohan sejak dini, menghatam manusia yang di penuhi ambisi tanpa menggunakan  nurani.

Merakit jungkat jangkit logika kembali menghidupkan raga yang telah sakit, merasa benar dalam kebenaran adalah musuh terbesar bagi diri sendiri, menikmati nada lembut memolah raga agar tau arah pulang.  sunyi, hening dan sepi ini membuat raga tumbuh dalam kesakitan yang menghadirklan kebahagiaan, bahagia tidak ada yang hakiki, itu hanya ucapan saja, besok pun akan luka kembali.

Aku menjadi pencipta sejarah untuk diriku sendiri menuliskan darah, luka , sepi dan lara walau diksi ini tak pernah dikenali, biarkan diksi ini sepi, biarkan dia hidup dengan sunyi, semua orang bermimpi untuk tinggi ketika menghantam tanah mereka lupa untiuk berdiri.

Terbuang dari singgsana membuat intuisi ini terbentur lagi dengan ritme – ritme kehidupan yang memapas raga untuk berteduh dalam ramai, menyaksikan gelombang vertikal yang dipenuhi keluhan.

Dialektika hidup membuat intuisi ini terhantam dengan cinta dan perjuangan mengatur irama agar bisa “hidup untuk menghidupkan”.

Aditya permana


2 Mei 2019



Surat untuk marsinar #2

Marsinar, perjalanku kini sudah terlalu jauh, aku melihat begitu banyak penderitaan di desa-desa, ada ibu imas yang setiap hari menanam ke...