Rabu, 13 Maret 2019

Menyepi untuk melawan

Terhimpit dalam lubang keramaian mereka bersuara lantang merebut mahkota dengan jiwa  yang gila hormat tertusuk dalam romansa kerakusan senja yang tak patut untuk dilontarkan, 

tarian tarian kini tak layak untuk dipertunjukan mereka menebas semua gerakan tubuh yang menyatakan perlawan,

kukira suara toa verbal ini akan membangunkan kamerad yang tergeletak mati dalam lukisan lukisan hyper realistis,

tidak usah merayakan kemenangan menang jika saat perang kalian membunuh kawan sendiri,

ini bukan drama dimana sebuah adegan direkayasa.

Membanting satu sama lain menjadi konsumsi untuk egonya sendiri,

membunuh karakter lawan sudah jadi perihal yang melengkapi perutnya pribadi,

dari maya menjadi senjata, dari realita mereka cupu untuk berbicara,

selamat datang di poros penuh sandiwara.

Teriakan agraria selalu di lontarkan namun mereka hanya mengerti tentang lambang kebusukan bukan sinopsis yang diajarkan, 

Teriakan ham selalu di suguhkan namun mereka hanya sibuk berperang dalam digital yang sudah tersaji

Teriakan toleransi selalu dipuja namun mereka hanya mengerti melawan kawan bukan dirinya sendiri

Lubang rayya tak lagi menjadi senjata dalam kata,  namun penuh bualan yang tak punya makna
Selamat datang di pertempuran mayya yang tak memanusiakan dunia rayya 

Bung ijinkan kalimat ini membunuh sifat busukmu
Bung ijinkan kalimat ini merawat kebenaran dari kesalahan
Bung ijinkan kalimat ini merawat kesadaran dari kesakitan
Bung,  ini peluru tajam yang kami siapkan untuk perlawanan....
 
Kami masih ada dan berlipat ganda
Kami tidak akan pernah mati untuk bersuara

Bandung pukul 18.53 tanggal 25 feb 2018


Paguyuban dalam kisah kasih priangan

Terjungkat dalam rakit yang sakit
Merasa pasrah pada langit
Bahwa raga hitam dalam penyakit
Tertusuk gumpalan darah yang sukat sikit
Gelombang kaca melekat tertumpun angin kilat

Mencintai tanpa mencinta dan 
Merasa tanpa membentuk untuk satu rasa
Bahagia tanpa bersama
Sakit tanpa satu kata memang cukup sulit
Bersama tanpa ada ikatan yang harus berjalan
Kita mati dalam tambang abu abu yang dilenyapkan

Satu rasa kita coba hidupkan
Namun sinar senja selalu memaksa raga ini untuk mati dalam diksi cinta
Tabur seni bergelut dalam embun pagi mencumbu bayang bayang yang terdampar dalam heroisni

Nikotin membuat kita sadar untuk memandang segelas alkohol dalam kemunafikan
Bahwa kita memang telah mati dalam kenyamanan
Bahwa kita telah mati dalam kemewahan
Bahwa kita telah mati dalam kesenjangan

Sukat sikit rakit memudar asa menjadi rasa
Bandung terjungkat dengan diksi pidi bahwa ada kalimat kolektif dari homicide yang tetap ada

Saparua tetap menjadi tempat dimana kita menarik ego agar mati dalam tarikan panjat tebing menginjak amarah yang terlalu tinggi

Asa,  rasa,  cipta,  dan bagja
Membuat kita sadar bahwa ada cinta yang harus di perjuangkan
Sauyunan dalam poros paguyuban
Kita terlahir dalam tanah pasundan yang melukis romantica dalam kembang untuk mewangikan jalan aceh hingga asia afrika

Tidak usah pergi untuk di cari
Tidak usah hilang untuk di temukan
Tidak usah mati jika ingin dihidupkan

Sadarlah
Mari kita hidup untuk menghidupkan bukan hidup hanya untuk kegelapan
Mari kita memenusiakan manusia bukan mensiasiakan hakikatnya manusia
Mari bangkit dalam keheningan bukan tertidur dalam kenyamanan

Aku masih menunggu walau dilempar batu dari atas ataupun bawah
Aku masih ada walau terhimpit lubang kematian
Aku masih ada walau ragaku terdampar dalam romantica yang di ada ada... 

Bandung, 12 maret 2018







Senin, 04 Maret 2019

Kua sepertiku

Aku sepi berjalan dalam lubang kegelapan tertampar ego yang menggempar, liku liku menghantui asa yang tanpa pernah menjadi rasa, aku bosan melihat kesenjangan itu terbang dengan leluasa, aku ingin melawan, tak peduli darah atau terluka, aku ingin teriak tak peduli mayor ataupun minor, aku sesak dengan dogma dogma kebodohan, aku tidak akan pernah menyerah meski ditobak hingga menebus dada, aku tidak akan pernah menyerah meski dibiarkan gelap sendirian, dan aku akan berjuang dengan sebagaimana mestinya manusia yang memanusiakan manusia kembali, aku tidak akan pulang dan aku akan terus berjuang meski jiwaku dipenuhi kesakitan.

Lanang : ijinkan aku untuk berbicara bupon, percayalah kau tidak berjuang sendirian meski   aksaraku kusut tanpa arti namun ku sisipkan badai untuk menerjang kesombongan, biarkan aku berbicara sekali lagi, aku akan ada untuk melawan kebodohan dan aku akan berjuang menantang langit yang dipenuhi kemewahan, percayalah.
.
Bupon : untuk apa ?, aku tidak ingin melihat lanang diasingkan.

Lanang : biarkan aku ikut untuk di asingkan, aku adalah aku yang tidak ingin berjuang pada kemunafikan.

Bupon : untuk apa kau mengorbankan ragamu ikut berjuang melawan kemiskinan dan perbudakan ?, sudahlah pergi jangan ikuti jalanku ini, biarkan aku berjalan pada kegelaapan sendirian, kau masih punya mimpi yang patut di perjuangkan, aku sudah mati dalam angan angan, biarkan aku berjuang sendirian untuk kemanusiaan meski nyawaku harus hilang .

Lanang : berhenti lah bicara pada kegelapan, kau hanya mengusik ego sendiri, kau patut untuk menari mengabarkan bahagia pada kehidupan, kau itu tidak sendiri, aku bukan pedang yang disimpan namun melukai, aku adalah aku yang akan datang pada kegelapan untuk mneyuarakan kemanusiaan.

Bupon : aku bosan dengan nada datang lalu pulang ?

Lanang : berhentilah memvonis siapapun
Bupon : apa aku harus kembali dengan nada nada yang dipenuhi tombak di dalam lidah, aku tidak ingin jiwa ini terluka didalam diksi cinta .

Lanang : percayalah manusia itu tidak ada sia sia .

Bupon : tapi manusia yang mensiasiakan manusia .

Lanang : sudahlah jangan terlalu bergelut dengan egomu, mari kita berjalan dan menari mengambarkan kebenaran dengan cinta dan asa yang hakiki.

Bupon : apakah dunia tak melibatkan asa ?

Lanang : silahkan bertanya ?

Bupon : apakah aku harus terdiam dalam kegelapan ?

Lanang : silahkan menyandra diri sendiri ?

Bupon : apakah aku harus melepas nyawa ?

Lanang : silahkan meringis semaunya

Bupon : kuharap kau akan mengerti saat dirimu divonis tidak berguna   ?

Lanang : kau tidak yang ada beda ?

Bupon ; kau tak pernah merasa ?

Lanang : kau itu istimewa

Bupon : tapi aku dipenuhi kecewa

Lanang : berhentilah memvonis dirimu tidak berguna

Bupon : mengapa kau tak biarkan aku untuk hilang ?

Lanang : sebab aku tau arah untuk pulang

Bupon : mengapa kau memilih berjuang untuku sedangkan jiwamu masih maradang pada angan angan ?

Lanang : karena dunia butuh dirimu yang periang

Bupon : aku hanya jengah dengan patah dan kemewahan

Lanang : jangan pernah menyerah , mari kita coba kembali

Bupon : aku hanya lelah untuk berdarah lagi

Lanang : mari kita rebah untuk sejenak memaknai

Bupon : aku pasrah

Lanang : itulah jawaban yang terindah

Bupon : dan biarkan tuhan yang memapah dan merekat jiwa jiwa yang patah

Lanang : sebab dia adalalah sebaik baiknya rumah, biarkan lukamu untuk memaknai kehilangan dan perjuangan, aku tidak akan pernah bebicara tentang arti senja dan pelangi aku hanya ingin berbicara tentang payung hitam yang melawan, kuharap kau mengerti tentang semua apa yang kaue perjuangan, aku siap ada dan mati untuk dirimu dan kemanusiaan.

Bupon : sekarang aku benar benar mengerti

Lanang : terus berkarya dan berjuang walau tak pernah dikenali

Bupon : teruslah menjadi cahaya di atas rayya

Lanang : aku akan ada untuk hari ini , esok hari dan selamnya

Lanang dan bupon : Kita berhak untuk hidup dan bahagia


Karya :  Aditya permana
Judul : Kau sepertiku


Kemanusiaan dan romantica

Dalam payung hitam kita berdua berdiri terdiam membisu menantang hal hal kerakusan yang membuat cinta ini hilang dalam pulau pulau yang diasingkan, hati kita sama, sama sama mencintai kemanusiaan dibandingkan memuja senja yang terlalu alay, kita berdua memandang gedung kerakusan bersuara lantang untuk menuntut keadilan cinta yang seharusnya di perjuangankan , iya cinta untuk mereka yang dilenyapkan dan di asingkan, air mata kita sama , sama sama turun ketika bocah kecil menangis kelaparan di pelosok desa, kala itu di ruangan payung hitam kami berdiskusi tentang perihal intuisi kami sendiri dan puan pun berbisik dengan nada halus

Puan : tuan apa kabar? , apa kabar dengan jiwamu yang di koyak koyak tangisan kemanusiaan ?

Tuan : kabarku baik puan, aku masih berdiri untuk merawat kemanusiaan dan keadilaan, meski jiwa ini selalu di hantam senjata senjata yang membunuh cinta dalam kemanusiaan

Puan: jangan takut tuan , aku masih ada untuk menemani ragamu yang menantang dibawah payung hitam, aku masih ada untuk kamu dan kemanusiaan.

Tuan : kupikir kau sama dengan wanita lainnya yang lebih memilih berjuang untuk gincu dan menyebarkan sebuah kemewahan untuk popularitas dirinya sendiri

Puan : tidak tuan , aku bukan mereka , aku adalah aku, aku adalah wanita yang ingin meneruskan perjuangan kartini dan marsinah, sudah tuan hentikan semua pandanganmu itu, aku tidak seperti itu, aku sama sepertimu,  masih ada pada jalur kesadaran dan kebenaran.

Tuan : puan aku tidak ingin membawamu ke jalur seperti ini, aku tidak ingin kamu hilang dan mati, maafkan aku puan, aku tidak bisa seperti sapardi dan habibie,maafkan puan , aku adalah aditya yang mencoba mencintaimu dalm kemanusiaan, aku ingin kita keluar dalam sepi untuk menyuarkan catatan kebanaran munir wiji.

Puan : kua pikir aku tidak bisa sepertimu ,  kau pikir aku tidak berjuang dalam sepi ,kau pikir aku tidak berjuang untuk kebenaran, aku katakan sekali lagi , aku sedang berjuang menyuarakan kebenaran meski nyawaku harus hilang, bukannya cinta itu mengajarkan ketulusan,bukannya cinta itu merawat kebahagian, tuan! jika jalanku dan jalanmu dipisahkan kematian, aku siaap . aku siap ,aku siap bertemu denganmu dilubang keabadian.

Tuan : puan aku tidak ingin melihatmu mati di
tembak peluru serdadu kebusukan

Puan : hah, kau pikir aku tidak berpikir seperti itu,aku pun sama tuan,  aku tidak ingin melihatmu mati seperti munir yang di racun diudara, aku tidak ingin melihatmu seperti pramoedya yang diasingkan oleh bangsanya sendiri, dan aku tidak ingin melihatmu seperti wartawan udin yang mati karena menyuarakan kebenaran.

Tuan : puan dengarlah ,dengarlah aku lebih mati untuk kemanusiaan, aku lebih baik hilang untuk merawat kebenaran, di bawah payung hitam ini aku sedang berjuang untuk merawat keadilan, dan aku masih mencintaimu seperti halnya aku mencintai payung ini.

Puan : tuan aku ingin mengatakan sekali lagi, aku pun sama, aku mencintaimu seperti halnya marsinah yang berjuang untuk keadilan,biarkan aku untuk selalu ada di sampingmu, biarkan aku ikut berjuang untuk merawat kalimat yang selalu  kau lontarkan yaitu “hidup untuk menghidupkan”.

Tuan : baiklah puan, jika itu pilihanmu aku ijinkan kau hadir dalam darah juang ini, puan kita akan menjadi sepasang kekasih yang melibatkan intuisi ini untuk keluar dari  zona nyaman.

Puan : aku sudah mengerti tuan.

Tuan :baguslah jika kau mengerti tentang cinta dan kemanusiaan

Puan : aku ada akan disampingmu tuan

Tuan : aku mencintaimu, biarkan aku mencintaimu dengan caraku sendiri

Puan : aku pun sama , aku mencintaimu dalam bayang bayang kematian.

Tuan: tidak usah takut puan, kita akan mati bersama, kita akan sepi bersama dan kita akan gelap bersama.

Puan : tuan aku mencintaimu dengan kemanusiaan

Tuan : mari kita berjuang untuk menghilangkan kemiskinan dan perbudakan, apa kamu siap ?

Puan : aku siap mati hari ini, mari kita lakukan tuan !!

Tuan : iya mari kita lakukan , aku mencintaimu dalam perjuangan yang di bayang bayang kematiaan.

Dalam cinta kita berdua , kita akan ada dalam romansa kemanusiaan yang menyuarakan cinta, kasih, perjuangan dan kematian, kita akan hidup dalam ruangan kegelapan yang menyuarakan kebeneran hingga benar benar menusuk langit yang dipenuhi kesombongan, puan terimakasih untuk raga marsinah dan kartini yang tertanam pada dirimu sejak dini, aku akan ada untukmu, aku akan ada untuk marjinal, aku akan ada untuk minoritas, dan kita akan ada di dalam cerita kemanusiaan dan romantica, aku lelaki jalang yang siap mati untukmu dan kemanusiaan.

panjang umur perjuangan
panjang umur romansa yang kita ikatkan
aku akan mencintaimu dalam perjuangan payung hitam

karya :Aditya permana
judul : Kemanusiaan dan romantica





Surat untuk marsinar #2

Marsinar, perjalanku kini sudah terlalu jauh, aku melihat begitu banyak penderitaan di desa-desa, ada ibu imas yang setiap hari menanam ke...