Merasa pasrah pada langit
Bahwa raga hitam dalam penyakit
Tertusuk gumpalan darah yang sukat sikit
Gelombang kaca melekat tertumpun angin kilat
Mencintai tanpa mencinta dan
Merasa tanpa membentuk untuk satu rasa
Bahagia tanpa bersama
Sakit tanpa satu kata memang cukup sulit
Bersama tanpa ada ikatan yang harus berjalan
Kita mati dalam tambang abu abu yang dilenyapkan
Satu rasa kita coba hidupkan
Namun sinar senja selalu memaksa raga ini untuk mati dalam diksi cinta
Tabur seni bergelut dalam embun pagi mencumbu bayang bayang yang terdampar dalam heroisni
Nikotin membuat kita sadar untuk memandang segelas alkohol dalam kemunafikan
Bahwa kita memang telah mati dalam kenyamanan
Bahwa kita telah mati dalam kemewahan
Bahwa kita telah mati dalam kesenjangan
Sukat sikit rakit memudar asa menjadi rasa
Bandung terjungkat dengan diksi pidi bahwa ada kalimat kolektif dari homicide yang tetap ada
Saparua tetap menjadi tempat dimana kita menarik ego agar mati dalam tarikan panjat tebing menginjak amarah yang terlalu tinggi
Asa, rasa, cipta, dan bagja
Membuat kita sadar bahwa ada cinta yang harus di perjuangkan
Sauyunan dalam poros paguyuban
Kita terlahir dalam tanah pasundan yang melukis romantica dalam kembang untuk mewangikan jalan aceh hingga asia afrika
Tidak usah pergi untuk di cari
Tidak usah hilang untuk di temukan
Tidak usah mati jika ingin dihidupkan
Sadarlah
Mari kita hidup untuk menghidupkan bukan hidup hanya untuk kegelapan
Mari kita memenusiakan manusia bukan mensiasiakan hakikatnya manusia
Mari bangkit dalam keheningan bukan tertidur dalam kenyamanan
Aku masih menunggu walau dilempar batu dari atas ataupun bawah
Aku masih ada walau terhimpit lubang kematian
Aku masih ada walau ragaku terdampar dalam romantica yang di ada ada...
Bandung, 12 maret 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar