Jumat, 24 April 2020

Surat untuk marsinar #2


Marsinar, perjalanku kini sudah terlalu jauh, aku melihat begitu banyak penderitaan di desa-desa, ada ibu imas yang setiap hari menanam kehidupan di sekujur badannya namun bahagianya di rampas oleh oligarki yang berdasi, ada bapak agus yang setiap hari berlayar di kegelapan walau hidupnya di bayang-bayang gelombang yang akan menenggelamkannya, dan ada rangga  seorang anak kecil yang bercita-cita sangat tinggi ia selalu bertanya kepada sang maha, kapan aku bisa sekolah?.
Peradaban ini sangat kejam, semua buta dan bisu pada kemanusiaan, marsinar lihatlah mereka, begitu sakitnya luka setiap hari yang mereka rasa, tapi aku banyak belajar dari mereka, aku belajar tentang menghargai hidup ini, aku belajar tentang bahagia walau hidup di hantam karang dan lautan.
Aku punya semangat untuk membawamu kedalam jurang-jurang tangisan mereka, berjalan bersama, membangun asa dan mimpi-mimpi di dalam hidupnya, aku ingin matamu terbuka dengan lebar melihat sebuah penderitaan yang nyata.

Marsinar, sungguh kita ini bukan apa-apa dan tidak akan pernah menjadi apapun bila setiap hari tidak menanamkan kehidupan di dalam tubuh ataupun perjalan, kita patut bergerak bersama, melukis, memotret bahkan bila perlu kita berteriak dan membangunkan semua orang agar saling membantu dan mengasihi sesama bukan tentang membangun investasi atau memperkaya diri,itu salah besar, kekayaan yang terbesar adalah bukan seberapa banyak uang yang kita kumpulkan melainkan seberapa banyak manusia yang kita selamatkan dan hidupkan kembali mimpi-mimpimya.
Bersedih secukupnya,menangislah sejenak, karena kita berhak merdeka dengan sehormat-hormatnya, hidup ini hanya sebentar, lebih baik kita turun dan lakukan sebuah perjuangan untuk kemanusiaan, marinar, aku hanya selalu mengingatkan dan menyampaikan agar doa-doa ini tidak pernah pudar pada kisah dan kasih yang sangat mulia.

Pelajaran yang terdidik, bersikap tenang pada tindakan, tertawa bersama pada gubuk-gubuk yang akan membuat kita menjadi seorang manusia yang terkasih, marsinar, kita perlu belajar pada sejarah, Karena perjuangan kemanusiaan akan selalu di ingat ribuan kertas hingga sampai abu-abunya.
Kita patut mencintai, memiliki semua penderitaan yang mereka rasa, karena dengan mata terbuka semua akan terlihat nyata.

Aku ingin kita menjadi sepasang kekasih yang tidak hanya memikirkan diri sendiri, bahkan bila perlu kita bunuh egosentris ini secara pelan-pelan, kita buang jauh segala ketakukan ini.
Kita patut hidup dan tumbuh pada kemanusiaan, marsinar aku mencintaimu.



Selasa, 14 April 2020

surat untuk marsinar #1


Skala yang terbesar dari kesalahan kita adalah bercinta hanya sebatas tubuh sesama, kita harus keluar dari dogma-dogma paradok itu, menjadi seorang kekasih atau terkasih kita harus menuntut keadilan dalam diri, manusia itu memang dramaturgi apapun bisa diperankan tapi, kita jangan terlalu erat memikirkan hal seperti itu, kekasih, percayalah, manusia yang tidak pernah memikirkan apa-apa akan rapuh dan hilang sudah harapannya, harapan adalah sumber nafas bagi kita, maka teruslah berharap dengan apa yang ada pada matamu, kita harus menjadi manusia, kita harus berani berbicara dan berjalan ke lembah-lembah yang penuh penindasan, dimulai dari harapan atau masa depan, kita harus berani hitam, walau orang-orang hanya diam dan menatap rembulan, alangkah indahnya bila kita bercinta dengan harapan dan masa depan mereka, kekasihku, mari kita coba lagi, memang tidak mudah melakukan hal seperti itu, tapi setidaknya kita pernah berjuang , kita pasti bisa, karena tuhan tidak pernah melahirkan manusia dengan sia-sia.

Kekasihku, tujuan mencintai lalu memilikimu, bukan tentang bagimana aku menikmati isi badanmu, aku ingin hidup menjadi akar untuk bola matamu, menjadi hutan yang asri bagi mulutmu, menjadi harapan dan asa dikala gelap menampar isi kamarmu, tenang saja, kita berdua pernah merasakan sepi hingga terbakar sudah, tak ada yang tersisa sama sekali, maka dari itu, ayo kita lakukan lagi, turun ke dalam jurang lalu mendengarkan kemiskinan,penindasan,dan kelaparan, setelah mendengarkan, menangislah sejenak, karena begitu beratnya beban hidup yang mereka rasa, ketika sudah selesai menangis, berjalanlah, lalu dengarkan irama perut yang kelaparan itu, jika sudah, kamu pasti mengerti apa yang harus dilakukan, bergeraklah.

Kekasihku, maafkan, aku tidak bisa seperti mereka yang selalu membicarakan tuhan dengan kolaborasi romantisme belaka, bukan itu tujuanku, karena bagiku tuhan tak perlu dibicarakan, sang maha sudah  benar di atas segala-galanya, aku hanya ingin berjalan bersama, mencari titik-titik kebenaran itu tumbuh dan hidup dimana?, apakah di dalam diri?, atau bahkan hingga ke lembah dan sungai-sungai, maka, mari kita cari bersama, tujuanku hanya satu, ingin berguna dan bernyawa dalam posisi yang jujur, tidak dengan politik balas budi yang menarik egosentris badanku sendiri, pahamilah, mari kita mulai menjadi manusia, setidaknya kita pernah menjadi manusia yang berpikir untuk semuanya,  bukan hanya tentang cinta yang berlabuh pada badan yang indah dan membuat pola pikir ini menjadi liar ataupun gila, kita harus menjadi sepasang yang gila, gila terhadap kedamaian dan keadilan.

Kekasihku, seperti para nelayan yang meraung pada gelombang pasang, seperti para petani yang memeluk cangkul di sepanjang malam, aku pastikan bahwa cinta yang menggugat ini akan tetap tumbuh di dalam mimpi-mimpimu, akan tetap ku antarkan seribu gugatan ini pada lukisanmu yang semu, akan tetap ku katakan namamu di lembah- lembah yang sunyi karena hingga saat ini aku masih mencintaimu, ada harapan cinta, kasih dan kemanusiaan di dalam tubuhmu.

Akan ada waktunya dimana gugatan-gugatan ini tiba di kelopak mata hingga Rahim-mu, hidup dan tumbuhlah, karena kamu pantas merdeka dengan sehormat-hormatnya.

Aku mencintaimu.


Selasa, 14 Januari 2020

Cinta itu apa

Semenjak ribuan buku di bakar di dalam tanah dan keberanian di racuni di udara
Semenjak para kapital memperkosa mulut hingga mengeluarkan air mata sang mamah
Semenjak parang jatuh cinta pada senja
Semenjak pemuda-pemuda baku hantam di dunia maya
Semenjak anak-anak di latih perang di poros virtual buatan Hollywood

Maka tak ada lagi jatuh cinta pada ruku, suku dan buku-buku
Maka tak ada jatuh cinta pada bahasa dan budaya
Maka tak ada jatuh cinta pada tiang -  tiang yang dijadikan tulang persatuan
Maka tak ada jatuh cinta  pada darah yang mengalir pada akar penyadaran

Berhentilah jatuh cinta pada popularitas yang hanya membuat akumulasi perdebatan tanpa adanya manisfestasi pembangunan kasih sayang

Berhentilah jatuh cinta pada kekayaan yang hanya akan dijadikan subsidi bagi perut sendiri

Berhentilah jatuh cinta pada ketakutan yang hanya membuat kebebasan itu mati terkutuk

Kita adalah aib pelarian cinta generasi ke dua
Memaki, memukul hingga melupakan perjuangan nene moyang

Kita adalah sisa - sisa jatuh cintanya dari adam dan hawa, semua rasa,  nurani tenggelam dalam indahnya pulau banda neira

Cinta itu adalah bambu
Kata adalah senjata
Tapi kita tidak benar benar merdeka dengan diri sendiri

Maka apa itu cinta?

Cinta itu merawat aspek minoritas dan melawan segala penindasan pada manusia,  air,  tanah dan udara
Cinta itu memeluk gelap dari hantaman sang terang
Cinta itu merangkul perbedaan
Jadi cinta itu apa?
Cinta itu apa?
Cinta itu apa?




Aditya permana
Bandung, 14 januari 2020

Minggu, 12 Januari 2020


Semuanya sudah jelas, tidak usah mencari, paradigma yang telah di genggamnya membuat langkah-langkah hipotesis sendiri, politik balas budi telah menggambarkan pola-pola kekuasaan di dalam diri, tenang saja setelah ia menguasai semuanya, saya telah hilang dari keramaian, bahkan dalam cita-cita saya sendiri, adikuasa ini secara tidak langsung memaksa ia masuk ke dalam pusara yang membuat menara. 

Ia pun Tidak hanya diam dan melihat saja,  bahkan puluhan urgensi memaksa jiwa ter-eksploitasi alam raya ini, lembar demi lembar telah di bakarnya. 

Sorak demi sorak terdengar pada ruangan dramaturgi yang berpura pura menjadi manusia adil dalam pikiran, ia menjadi angkuh pada jiwa dan hati nya sendiri, sejak pemuda yang tidak jelas itu menerkam ia, hancurlah sudah, hancurlah sudah..
Namun, akan ku biarkan dia bermain pada peranan nya sendiri,  aku lihat komoditas - komoditas itu ber-ucap bahkan berjanji pada politik balas budi.

Andaikan serangkaian konotasi dapat terdengar hingga pintu rumahmu,  aku hanya ingin mengatakan kepada ia, "kau itu terpelajar cobalah bersikap adil sejak dalam pikiran", dan tidak hanya itu saja, akan ku katakan pada rahimu yang paling suci, "cobalah duduk sebentar dan pahami,  jangan berlari tanpa berjanji apalagi membuang dan menghakimi. 
Aku katakan, aku dan ia berhak merdeka sejak dalam pikiran ataupun bayangan. 

Segelas anggur merah


Sukma jelita menawar malam tanpa impunitas 
Selaksa insureksi menari dalam dwi fungsi abri
Lalu Segelas amer mencium bibir penuh hikayat dan makna
Dari revolusi semua harus tegak berdiri
Karena reformasi hanya guyonan politik balas budi masa kini 
Merajut benang impian untuk membangun poros gagah dan berani
Menari -  nari dalam dekapan pulau yang di asingkan bangsa sendiri
Hutan dan lautan menampar ekofeminis yang mulai berkedip pada indahnya tradisi dan budaya ini
Kabar penindasan pada emansipasi terdengar hingga ujungnya rahim suci bangsa ini
Urgensi pada dogma dogma merajut pola pikir pemuda
Komoditas dalam diplomasi membuat rusaknya harmoni rumah ini 

Hingga alunan gitar yang di mainkan abah iwan
Kini tersapu segeromblan yang berpeluru
Suaranya di bungkam
Kepalanya di tikam
Seperti pula lembar lembar wiji dan neruda yang selalu berontak pada peradaban yang sakit
Walau diksi menjadi darah
Kertas menjadi api
Keadilaan menjadi abu
Dan udara menjadi racun

Seribu retorika menjadi singkat dalam propaganda penyadaran, terus menerus di perkosa industri kesusateraan
Penyair -  penyair mulai bercumbu dengan senja
Walau  di sekujur badannya bau penggusuran dan kemiskinan
Pelukis - pelukis mulai berhubungan intim dengan rupiah
Walau rambut sampai kakinya bau penindasan
Sarjana - sarjana mulai memperkosa idealismenya
Walau di dalam toganya terdapat sebuah gambaran anak - anak yang kelaparan

Maka, Jika memang tidak ada perubahan sama sekali bakar saja kami menjadi arang
Bakar saja kami menjadi debu
Bakar saja kami menjadi tulang busuk peradaban
Karena kami adalah aib bangsa ini... 
Aditya permana
Tamansari
24 des 2019

Jumat, 13 Desember 2019

Tegakkan kepala kalian

Kepada kawan yang masih tegak berdiri di tongkat pemberontakan melawan setiap perampasan tanah yang terjadi di pusat perkotaan maupun sudut pedesaan,  terimalah cinta di dalam dada kalian
Kita hanya segerembolan manusia yang menolak lupa meski kepala kita sering di hantam kawat hingga di lempari onani para penguasa, kita katakan pada mereka, 
kita tidak mudah di kalahkan
Kita tidak mudah di lenyapkan

 
Seperti lagu-lagu lembayung yang menikam kepala pemuda untuk tunduk pada komodiitas palung palung rusaknya dunia
Kami tetap akan menjadi amuk bagi api yang menjerit pada lembaran wiji ataupun neruda
Sekalipun kami di hantam hingga membuat tak berkepala, 

Nyawa kami masih berlipat ganda hingga benih benih cinta akan mengatarkan gaungan kembang pada pusara yang penuh akan luka dan derita

Seketika darah mengalir pada jeritan pertiwi dimana  hak asasi hanya guyonan dalam lembar-lembar penghargaan yang di dipenuhi bingkai kebusukan

Kami akan tetap menyanyikan sebuah lagu perlawanan sekalipun mulut ini di robek peluru ataupun pentungan kaum yang berseragam

Sekalipun perjuangan mengatakan kita untuk hilang dan mati,  maka berbahagialah untuk kalian yang masih tetap berdiri,  setidaknya kita pernah ada dalam sejarah yang sebenar-benarnya. 


Dengan bangganya kaum kaum seragam datang di lengkapi alat alat perang
Lalu menyanyikan angkara angkara busuk
"berikan kami,  berikan kami,  berikan kami seratus  serdadu  yang berseragam maka akan ku gusur  rumah rakyat miskin kota"

Tegakkan kepala kalian seperti di awal
Walau angkara-angkara mereka terdengar hingga pusat jalanan
Sekalipun telaga dipenuhi mesin mesin besar
Kita tidak akan mudah dikalahkan

Tegakan kepala kalian seperti di awal
Langit dan tanah berhak menghormati segala darah yang mengalir pada perjuangan kemanusiaan. 

Tegakan kepala kalian seperti di awal
Rangkul kawan kiri dan kanan
Mari lawan segala penindasan dan penggusuran
Karena kita berhak merdeka dengan segala keadilaan

Belajarlah membaca dari sekarang kumpulkan buku buku jalanan hingga lemarimu penuh dengan angkara kegelisahan, jangan onani dan diam lalu tumbuh menjadi kaum yang berseragam
Karena itu salah besar
Kita hidup untuk berjuang bukan mencari aman
Karena itu salah besar
Kita harus tumbuh lalu menghasilkan sebuah gagasan bukan menjadi pemuda yang menembak dan memukuli kaum miskin kota
Karena itu salah besar
Kita harus berani
Kita harus berani
Walau harus mati

Seribu hormat untuk kalian yang masih tetap berdiri menantang segala penindasan
Seribu hormat untuk kalian yang berjuang merawat tanah dan air walau seringkali di lempari onani oligarki
Seribu hormat untuk kalian yang berani bersuara tanpa materi

Tegakkan kepala
Karena kita akan selalu ada,  walau seringkali dilibas senjata

Untuk kalian dan taman sari tercinta
Tegakkan kepala seperti di awal kita berjumpa di garis perjuangan. 


Aditya permana
Tamansari,  bandung
12des2019




Minggu, 03 November 2019

Rindu yang di pusarakan


Beranjaklah sang dewa dari penjaringan rahim yang suci, terasingkan antara waktu dan derita,  sore itu kelopak mata didekat pipimu,  bias mendekap rindu yang terpasung bayang bayang masa lalu,  bibirmu pucat seakan sedang berontak pada peradaban yang di paksa masuk ke masa siti nurbaya, hembusan asap jalanan menikam prahara walau rindu telah jadi pusara, sementara detak detak bola mata serupa udara dan pohon yang di tebas tuna asmara.
Ku puji asma dalam palung samudera, walau isi kepala menolak lupa pada jejak jejak hitam asmara
Serupa cinta penuh misteri
Serupa jelita yang berduri
Serupa akar membungkam gubuk cerita
Oh, selina
Hidup hanya serangkaian akar yang berduri,  di puji dan memuji membuat kita lupa untuk berdiri
Remuk nya aksara pada zaman pembodohan
Membuat kita gagal menghadirkan benih nya  perjuangan
Oh,  selina
Bayang - bayangmu mencekam sang malam
Nada nada minor menari dari hempasan yang sakral
Rangkum jalan berbeda,  jatuh sakit di sepertiga yang kelam
Aku bahagia melawan lupa
Oh,  selina
Beranjaklah pada ketiadaan yang abu
Rendahkan saja rupamu pada cakrawala
Jangan terlalu tinggi nanti kau jatuh kesakitan
Sejatinya cinta adalah kemanusiaan
Kita akan mati
Yang abadi hanya puisi

Aditya permana
Bandung, 19 september 2019.

Surat untuk marsinar #2

Marsinar, perjalanku kini sudah terlalu jauh, aku melihat begitu banyak penderitaan di desa-desa, ada ibu imas yang setiap hari menanam ke...