Minggu, 12 Januari 2020

Segelas anggur merah


Sukma jelita menawar malam tanpa impunitas 
Selaksa insureksi menari dalam dwi fungsi abri
Lalu Segelas amer mencium bibir penuh hikayat dan makna
Dari revolusi semua harus tegak berdiri
Karena reformasi hanya guyonan politik balas budi masa kini 
Merajut benang impian untuk membangun poros gagah dan berani
Menari -  nari dalam dekapan pulau yang di asingkan bangsa sendiri
Hutan dan lautan menampar ekofeminis yang mulai berkedip pada indahnya tradisi dan budaya ini
Kabar penindasan pada emansipasi terdengar hingga ujungnya rahim suci bangsa ini
Urgensi pada dogma dogma merajut pola pikir pemuda
Komoditas dalam diplomasi membuat rusaknya harmoni rumah ini 

Hingga alunan gitar yang di mainkan abah iwan
Kini tersapu segeromblan yang berpeluru
Suaranya di bungkam
Kepalanya di tikam
Seperti pula lembar lembar wiji dan neruda yang selalu berontak pada peradaban yang sakit
Walau diksi menjadi darah
Kertas menjadi api
Keadilaan menjadi abu
Dan udara menjadi racun

Seribu retorika menjadi singkat dalam propaganda penyadaran, terus menerus di perkosa industri kesusateraan
Penyair -  penyair mulai bercumbu dengan senja
Walau  di sekujur badannya bau penggusuran dan kemiskinan
Pelukis - pelukis mulai berhubungan intim dengan rupiah
Walau rambut sampai kakinya bau penindasan
Sarjana - sarjana mulai memperkosa idealismenya
Walau di dalam toganya terdapat sebuah gambaran anak - anak yang kelaparan

Maka, Jika memang tidak ada perubahan sama sekali bakar saja kami menjadi arang
Bakar saja kami menjadi debu
Bakar saja kami menjadi tulang busuk peradaban
Karena kami adalah aib bangsa ini... 
Aditya permana
Tamansari
24 des 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Surat untuk marsinar #2

Marsinar, perjalanku kini sudah terlalu jauh, aku melihat begitu banyak penderitaan di desa-desa, ada ibu imas yang setiap hari menanam ke...