Sabtu, 03 Agustus 2019

Rindu yang menggugat #18

Terlintas harapan tanpa sayap,  aroma tubuh jingga mepersuntik kenangan yang hanya jadi benalu, irama rindu kini jadi karang tersiati malam tanpa bintang, sunyi dalam cinta membuat mati untuk makna diksi yang tak berupa, kolase pembodohan diri sudah tertanam sejak dini dimana pelajaran dijadikan alat untuk pekerjaan bukan lagi berbicara tentang adidaya yang memanusiakan

Bumi, laut dan gunung kini tak lagi bercinta dalam kedamaian, semua hangus dijadikan perebutan korporat yang bersetubuh dengan kekuasaan

Mekarnya melati dalam pagi membuat pola pikir terbentur dengan kelaparan dan kebahagiaan,  bahwa lauk pauk saja tidak cukup untuk melawan pembodohan sosial

Lihatlah gedung parlemen, lihatlah istana negara,  lihatlah rumah-rumah dinas dimna korporat itu bersembunyi,  mereka bahagia diatas di derita,  mereka senang di atas lukanya bambu runcing yang bertumpah darah di tanah nusantara

Pemuda diam dalam diksi senja, memvonis dirinya  yang sedang jatuh cinta dan luka oleh rasa, darah juang dikumandangankan tapi mereka mati berdiri tanpa sukma, terlalu banyak berpacu dengan romantica tanpa sekali pun mengerti tentang melodi hikmat yang bernada

tak ada lagi perjuangan untuk lidah rakyat semuanya mati dalam tarian purnama bahwa mereka hidup memang untuk saling berbagi bukan menghilangkan denyut nadi dalam nuraninya sendiri

Semua hilang dalam modernisasi dimana orang pintar bisu dalam hal sosial dan kemanusiaan 
Semua hilang dalam bianglala penuh nahkoda
Tapi senyap ketika jeritan anak yang ingin merasakan bangku pendidikan
Semua hilang dalam adidaya dimana orang orang lebih bangga menghafal ajaran luar di bandingkan menghidupkan asihnya nene moyang

Bukalah mata,  bukalah hati, bahwa jeritan marjinal masih terdengar hingga pelosok desa
Jabat tangan bersama dalam perjuangan mari lawan serdadu yang tetap berkuasa

Melawan tanpa jeda atau diam penuh tanya
Bersuara untuk mereka atau berlari demi kekayaan pribadi
Melawan bukan ingin terlihat menang melainkan mengkibarkan kembali bendera yang penuh keadilaan. 

Hidup untuk menghidupkan terbayang di atas kepala bahwa penindasan memang harus dilawan dalam garis kebersamaan. 

Aditya permana
Bandung 24 juni 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Surat untuk marsinar #2

Marsinar, perjalanku kini sudah terlalu jauh, aku melihat begitu banyak penderitaan di desa-desa, ada ibu imas yang setiap hari menanam ke...