Meneguk air putih tercampur bisikan agraria bahwa ragaku
ter-usir dari lingkaran lestari alam ini, semuanya terdogma dengan budaya yang
sakit merakit raga hanya untuk kebutuhan pribadi dan membunuh satu sama lain,
merawat bumi hanya sekadar guyonan belaka, tanah – tanah hilang di
ganti dengan gedung kerakusan, bukit bukit menciut terbius problematika tanah
yang telah dicuri, semuanya hilang dirampas korporat dan membunuh marjinal
lalu berselimut di bantal kekuasaan.
Otak ini terlalu dangkal ketika aroma kopi mengajak berpacu
dalam garis perjuangan, mulut ini bisu terpental jauh ke laut natuna bahwa ikan
kita sudah banyak dicuri, tangan ini keram ketika suara
demokrasi hanya dijadikan alat untuk perebutan saham batu bara yang ada di
Kalimantan dan kaki ini lumpuh ketika semuanya berdalih bahwa partai lebih
penting dari kemajuan bangsa.
Sampai kapan aku tertindas dalam kebodohan yang sangat
panjang, pendidikan hanya dijadikan alat untuk mendapatkan gelar, bukan lagi
belajar tentang bagaimana mencari hakikatnya memanusiakan manusia, keamaan
hanya untuk yang ber-uang saja, orang orang miskin mereka mati kesepian,
kalimat literasi kini dikebiri materi lalu paradigma kiri bercumbu dengan
eksistensi.
lorong lorong gelap menampar isi otak yang terlalu kosong,
mencium melati di suntik mati ego sendiri, yudikatif hanya kumpulan
orang – orang sakit, jin dan setan mentertawakan eksekutif yang gila kursi dan terbungkus
materi, fasis yang baik adalah fasis yang mati.
Urgensi jiwa termenung dengan rangkaian diksi dewa kosmos
membungkus rapih pantulan tinta manusia yang dilenyapkan dalam memperjuangkan
kehidupan, semua berdalih demi perut pribadi orang pinggir hanya jadi audiensi
bertepuk tangan karena telah dibodohi.
Belajar logika sudah sejauh mana, demonstrasi dihakimi,
korupsi di lindungi, jiwa jiwa yang dangkal dikebiri materi, mampus jiwaku
dikoyak koyak sepi, menatap atap yang hanya jadi ratap, merasa sengsara di atas
pusara, Ku ringkas ketakutan menyembuhkan sepi dalam
perjuangan, memandang gedung yang di penuhi lukisan kesombongan, aku
mati berdiiri memandang jiwa jiwa yang bersetubuh dengan eksistensi tanpa
nurani dan essensi.
Aku pulang menundukan kepala, terhantam gelisah
dalam jiwa bahwa bayangan hidup untuk menghidupkan harus tetap di perjuangkan.
Bandung, 3 mei 2019
Aditya perma
DaftarPkIdn
BalasHapusPoker88
DewaPoker
MovieBioskop21