Jumat, 03 Mei 2019

Literasi di kebiri materi terbungkus eksistensi

Meneguk air putih tercampur bisikan agraria bahwa ragaku ter-usir dari lingkaran lestari alam ini, semuanya terdogma dengan budaya yang sakit merakit raga hanya untuk kebutuhan pribadi dan membunuh satu sama lain, merawat bumi hanya sekadar guyonan belaka,  tanah – tanah hilang di ganti dengan gedung kerakusan, bukit bukit menciut terbius problematika tanah yang telah dicuri, semuanya hilang dirampas korporat dan membunuh marjinal lalu berselimut di bantal kekuasaan.

Otak ini terlalu dangkal ketika aroma kopi mengajak berpacu dalam garis perjuangan, mulut ini bisu terpental jauh ke laut natuna bahwa ikan kita sudah banyak dicuri,  tangan ini keram ketika  suara demokrasi hanya dijadikan alat untuk perebutan saham batu bara yang ada di Kalimantan dan kaki ini lumpuh ketika semuanya berdalih bahwa partai lebih penting dari kemajuan bangsa.

Sampai kapan aku tertindas dalam kebodohan yang sangat panjang, pendidikan hanya dijadikan alat untuk mendapatkan gelar, bukan lagi belajar tentang bagaimana mencari hakikatnya memanusiakan manusia, keamaan hanya untuk yang ber-uang saja, orang orang miskin mereka mati kesepian, kalimat literasi kini dikebiri materi lalu paradigma kiri bercumbu dengan eksistensi.

lorong lorong gelap menampar isi otak yang terlalu kosong, mencium melati di suntik mati ego sendiri,  yudikatif hanya kumpulan orang – orang sakit, jin dan setan mentertawakan eksekutif yang gila kursi dan terbungkus materi, fasis yang baik adalah fasis yang mati.

Urgensi jiwa termenung dengan rangkaian diksi dewa kosmos membungkus rapih pantulan tinta manusia yang dilenyapkan dalam memperjuangkan kehidupan, semua berdalih demi perut pribadi orang pinggir hanya jadi audiensi bertepuk tangan karena telah dibodohi.

Belajar logika sudah sejauh mana, demonstrasi dihakimi, korupsi di lindungi, jiwa jiwa yang dangkal dikebiri materi, mampus jiwaku dikoyak koyak sepi, menatap atap yang hanya jadi ratap, merasa sengsara di atas pusara, Ku ringkas ketakutan menyembuhkan sepi dalam perjuangan,  memandang gedung yang di penuhi lukisan kesombongan, aku mati berdiiri memandang jiwa jiwa yang bersetubuh dengan eksistensi tanpa nurani dan essensi.

Aku pulang menundukan kepala,  terhantam gelisah dalam jiwa bahwa bayangan hidup untuk menghidupkan harus tetap di perjuangkan.


Bandung, 3 mei 2019
Aditya perma





1 komentar:

Surat untuk marsinar #2

Marsinar, perjalanku kini sudah terlalu jauh, aku melihat begitu banyak penderitaan di desa-desa, ada ibu imas yang setiap hari menanam ke...